Mohon tunggu...
Rizal Amri
Rizal Amri Mohon Tunggu... -

Pengamat barang kerajinan dan rajin mengamati peristiwa politik

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kuatir Terdakwa Bebas, Busyro Intervensi Hakim Tipikor

24 Mei 2013   09:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:06 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Busyro Muqoddas akhir-akhir ini gencar sekali mengomentari kasus impor daging sapi. Hal ini cukup mengherankan, mengingat beliau sebenarnya diberi mandat di bidang pencegahan KPK. Adapun kasus yang masuk proses penyidikan /penuntutan semestinya menjadi domain bidang penindakan.

Berikut ini beberapa komentar Busyro di media:

"Kasus impor daging sapi sudah jelas kartel dan dominasi peran kapitalisasi asing,"

"Mereka ini sudah kategori penyembah hedonisme,"

"Peredaran uang dari AF ke sejumlah wanita muda dan aktivis parpol harus lebih menjadi agenda media untuk menggalang kesadaran rakyat dan pendukung parpol agar tersadarkan bahwa kartel daging sapi adalah ulah elite parpol, birokrat, pebisnis busuk dan calo yang kumuh”.

Statemen keras Busyro di atas, menjadi sebuah lontaran isu panas yang tidak layak diucapkan pimpinan KPK dan lebih mirip komentar aktifis LSM atau pengamat. Jika benar ada kartel, KPK tentu bisa langsung memanggil, memeriksa dan menjadikan tersangka para pemilik perusahaan anggota kartel dimaksud. Padahal KPK sejauh ini hanya memeriksa satu perusahaan saja, yakni PT. Indoguna. Busyro tentu paham bahwa satu perusahaan saja belum bisa disebut kartel.

Hal lain yang menarik, pernyataan Busyro tentang masalah penyembahan oleh para tersangka, sudah di luar konteks pidana dan merembet ke masalah aqidah. Jika benar sinyalemen Busyro bahwa tersangka punya sesembahan yang lain selain Tuhan, maka artinya beliau mencap tersangka telah musyrik atau kafir. Semestiya Busyro melaporkan saja ke MUI jika memang tersangka terindikasi menyimpang secara aqidah atau terlibat aliran sesat. Sebagaimana Adi Bing Slamet melaporkan Eyang Subur ke MUI.

Pernyataan Busyro yang cendrung emosional tersebut bisa dipandang sebagai upaya memprovokasi publik. Semakin banyaknya pakar hukum yang berpendapat bahwa KPK keliru dalam menerapkan UU Tipikor dan TPPU, bisa jadi telah menimbulkan kekuatiran tersendiri di internal KPK. Bahkan Prof. Romli, mahaguru hukum senior yang membidani UU tentang korupsi tsb dan tentunya paham betul tafsir dan maksud pasal demi pasal, secara jelas berpendapat bahwa KPK tidak tepat dalam menerapkan UU TPPU dan UU Tipikor dalam kasus impor daging sapi. Prof. Romli juga memprediksi KPK akan sangat kesulitan dalam kasus AF dan LHI. KPK juga dianggap telah menabrak rambu-rambu pasal TPPU dalam hal penyitaan harta orang.

KPK tampaknya sedang menyiapkan strategi lain agar terdakwa tidak lolos dari tuntutan jaksa, yakni dengan menggalang opini publik. Bahkan KPK juga mendorong media untuk melaksakan agenda penggalangan tersebut, sebagaiman perkataan Busyro: “…harus lebih menjadi agenda media untuk menggalang kesadaran rakyat..”. KPK ingin meyakinkan publik bahwa tersangka pasti salah, kemudian diikuti dengan operasi pembunuhan karakter para tersangka. Mulai dari mengungkap kehidupan pribadi, menggulirkan masalah “kasur” para tersangka, terakhir Busyro menyempurnakannya dengan mengungkit masalah aqidah. Hal mana, kesemuanya tidak ada relevansinya dengan pokok perkara. Publik yang tersihir dengan kata-kata Busyro, tentu diharapkan bisa tersulut atau dicocok hidungnya untuk kemudian secara masif memberikan tekanan opini terhadap hakim Tipikor.

KPK paham betul bahwa hakim Tipikor tidak boleh diintervensi, namun provokasi dan penggiringan opini publik dengan menggunakan tangan media, bukankah sebuah bentuk intervensi lain dan keji. KPK bukanlah LSM dan komentator, semestinya bertindak professional. KPK tidak boleh menjadi penyidik, penuntut dan sekaligus menghakimi atau menjadi hakim dalam sebuah perkara. Alangkah eloknya jika Busyro Muqoddas sebagai salah satu pimpinan dan tokoh senior di KPK, bisa memberikan contoh bagaimana menjaga marwah KPK, lembaga yang selama ini mendapat dukungan publik.

Akankah hakim Tipikor terpengaruh, sehingga takut memvonis bebas terdakwa karena –sebagaimana biasanya- akan dituduh kongkalingkong lalu dilaporkan ke KY ?.

Semoga saja para hakim tetap bersikap independen, adil dan professional. Sehingga apapun hasil keputusannya, bisa dipertanggungjawabkan dunia akhirat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun