Mohon tunggu...
Rizal Amri
Rizal Amri Mohon Tunggu... -

Pengamat barang kerajinan dan rajin mengamati peristiwa politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi Hentikan Langkah "Orang Belitung" Menuju Istana

16 April 2015   09:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:02 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dikenal sebagai sosok yang gagah berani dan juga temperamental. Kedua sifat itu menjadi ciri khas beliau yang justru disukai cukup banyak orang. Ahok dikenal sebagai gubernur yang gampang marah dan tak sungkan mengumbar kata-kata kasar kepada siapa saja yang menentangnya. Jangankan terhadap anak buahnya yang tak jarang dimaki-maki dan dipermalukan Ahok di hadapan umum, pejabat tinggi negara sekelas menteri dan anggota DPRD DKI sekalipun tak luput dari celaan Ahok. Gamawan Fauzi Menteri Dalam Negeri di zaman SBY adalah diantara pejabat tinggi negara yang menjadi korban celaan Ahok. Ahok juga pernah bertentangan dengan Ibu Susi Menteri Kelautan di kabinet Jokowi dalam kasus izin reklamasi pantai. Bahkan pada pembahasan RAPBD DKI tahun 2015, Ahok ribut tidak hanya dengan oknum tapi juga institusi DPRD. Kisruh APBD DKI itu membuat nama Ahok semakin melambung.

Pada kasus RAPBD DKI 2015 itu, publik memberi dukungan luas pada  Ahok, mengingat citra DPRD saat ini memang sedang berada di titik nadir. Hal ini membuat Ahok semakin percaya diri dan sepertinya tidak ada yang ditakutinya. Ahok merasa berada di atas angin karena Kemendagri mau menerima RAPBD DKI versi Ahok yang tanpa melewati pembahasan bersama DPRD. Sayangnya APBD versi Ahok itu tidak bisa diberi payung hukum berupa Perda sebagaimana lazimnya, berhubung terjadi “deadlock” pada pembahasan dengan DPRD. Walhasil Ahok terpaksa membuat Pergub sebagai alternatif, sebagaimana aturan Undang-undang. Namun lagi-lagi timbul perselisihan, kali ini Ahok ribut dengan pihak Kementerian Dalam Negeri. Ahok menyatakan APBD DKI tahun 2015 semestinya bernominal Rp 72,9 triliun. Namun Kemendagri menyatakan, jika memakai Pergub maka APBD DKI untuk tahun ini hanya sebesar Rp 63, 65 triliun. Pangkal persoalannya adalah perbedaan penafsiran UU Nomor 17 tahun 2003.

Sebagaimana biasa, Ahok merasa dirinya yang paling benar dan menuduh pihak Kemendagri salah tafsir. Ahok lagi-lagi melontarkan kata-kata yang mencela pihak yang berbeda dengannya.

“Iya, gila kan, dia bilang pagu belanja, mana ada pagu belanja. Ini pagu APBD kok, jelas-jelas pagu APBD. Kalau sampai ditafsirkan (APBD pakai pagu belanja tahun lalu) begitu, kok bodoh sekali DDN (Departemen Dalam Negeri, sekarang Kemendagri) bisa membiarkan uang Rp 9 triliun,” kata Basuki dengan nada suara tinggi di Balai Kota.

Mana yang benar, penafsiran Ahok atau pihak Kemendagri ?

Ahli keuangan negara dari Universitas Jayabaya Soemardjijo memaparkan Undang-undang yang mesti dirujuk dalam menentukan APBD DKI untuk konteks ini.

"Yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah," kata Soemardjijo.

Doktor yang pernah menolak memberikan penilaian yang menghakimi Ahok saat diminta Tim Angket DPRD DKI ini, lantas menjelaskan satu per satu dasar hukumnya.

UU Keuangan Negara Pasal 20 Ayat 6 menyebutkan, "Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya"

Sementara UU Pemda Pasal 314 Ayat 8 menyebut, "Dalam hal pembatalan dilakukan terhadap seluruh isi Perda Provinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberlakukan pagu APBD tahun sebelumnya."

Terakhir, PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah juga dipakai. Berikut adalah bunyi dari Pasal 46 ayat 1, 2, dan 3

(1) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) tidak mengabil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan, yang disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD.

(2) Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.

(3) Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota.

Walhasil Soemardidjo menyimpulkan bahwa Ahok yang keliru.

"Jadi Pergub APBD DKI 2015 itu memakai pagu tahun sebelumnya untuk hal-hal yang sifatnya rutin saja, seperti biaya operasional, pembiayaan gaji rutin, pendidikan, atau kesehatan. Yang dikatakan Kemendagri itu benar," kata Soemardjijo.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tidak terima institusinya dicela dan diserang Ahok dengan opini-opini yang menyesatkan masyarakat. Tjahjo menyampaikan pernyataan yang cukup keras.

"Gubernur DKI Ahok harus realistis, jangan hanya bermanuver opini," kata Tjahjo kepada wartawan.

Politikus PDIP itu menyebutkan, tim Kemendagri yang dipimpin Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Reydonnyzar Moenek telah bekerja profesional. Menurut dia, tak ada salah penafsiran seperti yang disebut Ahok terkait pemangkasan anggaran DKI 2015. Tjahjo juga mengutip Pasal 314 ayat 8 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengingatkan Ahok bahwa anggaran APBD Tahun Anggaran 2015 tidak bisa sama dengan APBD-P 2014.

Setelah Mendagri ikut bicara, Ahok sedikit mereda namun masih tidak bisa menyembunyikan kekesalannya dan malah mengungkapkan keinginan untuk menjadi Presiden.

“Ya manut (ikut) dong, kami harus ngikut, mau bilang apa? Tunggu gue jadi presiden kalau begitu. Saya sudah kesal kalau begitu caranya,” ujar Ahok.

Ahok memang disebut-sebut menyimpan obsesi menjadi presiden, sudah terbit pula buku biografi Ahok berjudul "Dari Belitung Menuju Istana".

Presiden Joko Widodo tampaknya terganggu pula oleh "kegenitan" Ahok. Beliau lalu memanggil Ahok dan juga Prasetyo Edi Marsudi, politisi PDIP yang menjabat Ketua DPRD DKI. Jokowi ingin sekalian menyelesaikan konflik Ahok dengan DPRD. Sebagaimana diberitakan, DPRD DKI sedang mewacanakan HMP (Hak menyatakan pendapat) atas pelanggaran hukum dan etika yang dilakukan Ahok yang bisa berujung pada pemecatan Gubernur.

Pertemuan yang diprakarsai Jokowi tersebut, menjadi antiklimaks bagi Ahok. Presiden  meminta Ahok agar ke depan DKI tidak lagi menggunakan Pergub sebagai dasar hukum APBD.

"Tadi dengan Pak Presiden, dengan Pak Pras (Ketua DPRD DKI Prasetio) juga kami sepakat akan menjaga, supaya APBD 2016 itu menggunakan perda," aku Ahok di Balai Kota Jakarta.

Padahal awalnya Ahok "ngotot" akan membuat Pergub lagi untuk APBD 2016 dan tahun-tahun berikutnya apabila DPRD tidak mengikuti apa maunya Ahok.

Instruksi Presiden itu adalah sebuah tamparan bagi Ahok, bahwa sikap Ahok yang tidak kooperatif dan seakan mampu membangun Jakarta sendirian, adalah tidak benar. Ahok mau tidak mau harus bersedia mematuhi prosedur penyusunan APBD yang telah ditetapkan undang-undang, yakni bekerjasama dan menghormati lembaga DPRD.

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga meminta Prasetyo Edi Marsudi untuk mengupayakan agar DPRD sudi memaafkan Ahok dengan tidak meneruskan proses HMP. Sejauh ini baru fraksi PDIP yang setuju untuk tidak melanjutkan proses yang bisa berujung pada pemakzulan Ahok tersebut.

Ujung dari kisruh APBD DKI ini yang menempatkan Ahok di pihak yang keliru, tentu merugikannya. Sebelumnya Ahok juga membuat kontroversi dengan wawancara live di Kompas TV yang dikecam hampir semua pihak. Kata-kata kotor berbau “toilet” yang dilontarkan Ahok dianggap sangat tidak mendidik. Opini mereka tentang Ahok cukuplah diwakili oleh apa yang ditulis Jaya Suprana, bahwa para cendekiawan, rohaniawan, akademikus yang semula mendukung Ahok, kini meragukan dukungan mereka terhadap Ahok. Apalagi orang-orang yang benci dengan Ahok, tentulah semakin benci.

Walhasil, langkah orang Belitung ini  menuju istana tentu semakin berat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun