Mohon tunggu...
Rizal Amri
Rizal Amri Mohon Tunggu... -

Pengamat barang kerajinan dan rajin mengamati peristiwa politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pidato Jokowi Bikin AS Berang dan Relawan Tak Lagi Gaduh

24 April 2015   09:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:44 1407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pidato pada pembukaan peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika di Jakarta Convention Center, Rabu pagi, 22 April 2015, Presiden Joko Widodo mengangkat berbagai isu. Joko Widodo berbicara tentang bagaimana seharusnya dukungan Asia-Afrika terhadap keamanan kawasan. Juga mengajak negara Asia-Afrika untuk menekan PBB agar mau mereformasi diri. Hal itu lantaran PBB dianggap lemah menghadapi kisruh yang terjadi di Timur Tengah. Jokowi bukanlah orang yang dikenal sebagai orator ulung, bukan pula orang yang mahir berpidato tanpa teks, namun pidato yang beliau bacakan itu dipuji banyak pihak. Pujian bahkan juga datang dari orang yang sering mengkritisi beliau, seperti dari Fahri Hamzah politisi PKS.

Tim pengarang pidato Jokowi memang bukan sembarang orang, ada tim substantif yang beranggotakan Kepala Kantor Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, masing-masing juga memboyong tim ahli. Kemudian ada lagi tim khusus yang melibatkan Teten Masduki, Sukardi Rinakit peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate, dan Rizal Sukma Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS). Dua orang lain yang juga dilibatkan adalah Deputi I Bidang Monitoring dan Evaluasi Kantor Staf Kepresidenan Darmawan Prasodjo dan Deputi II Bidang Pengelolaan dan Kajian Program Prioritas Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho.

Pidato Jokowi lumayan membahana, bahkan mengusik dan membuat AS berang. Pemicunya adalah “jeweran" Jokowi kepada badan ekonomi dunia, yaitu Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Ketiga badan ekonomi tersebut dianggap Jokowi tak berkontribusi maksimal menyelesaikan masalah ekonomi negara-negara yang tertinggal di Asia dan Afrika. Ernest Bower, peneliti Center for Strategic and International Studies Washington DC, menilai pidato tersebut menunjukkan Presiden Jokowi tidak konsisten. Jokowi, kata dia, di satu sisi menginginkan banyak investor asing masuk ke Indonesia. Tapi di lain sisi, mengkritik sistem dan lembaga keuangan internasional semisal International Monetary Fund (IMF) dan Asian Development Bank (ADB).

"Pemerintah seperti ingin gampangnya saja. Menyuruh investor untuk datang, tapi belum siap untuk menerapkan perbaikan yang akan memfasilitasi investasi itu," ucap Bower.

Anehnya pidato Jokowi yang “wow” itu tidak disambut gegap gempita oleh para relawan dan para pendukungnya. Dinginnya sambutan mereka tentu bukan karena isi pidato tidak murni buah pemikiran Jokowi. Sekalipun pidato dikarang oleh tim, paling tidak Jokowi tentu memahami dan menyetujuinya. Hal itu bisa dipastikan karena tim beberapa kali membahas isi pidato dan memberikan “briefing” kepada Presiden.

Tentu bukan pula karena AS "berang" sehingga relawan dan pendukung Jokowi jadi ciut nyalinya. Tidak ada yang dikhawatirkan relawan dan pendukung pada AS, mereka mahfum bahwa Jokowi sebatas beretorika. Presiden Joko Widodo memang belum menawarkan langkah kongkrit sebagai solusinya, misalnya menggagas sebuah badan baru yang benar-benar berfungsi bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat di Asia dan Afrika. Banyak orang tentu memaklumi bahwa sang presiden dalam pidato tersebut hanya sekadar memberikan pesan yang ingin didengar penonton, sebagaimana disebut Eric Sugandi, ekonom senior Standard Chartered Bank Jakarta.

"Konteksnya harus dilihat siapa penontonnya. Ini hanya retorika politik," tukasnya.

Relawan tidak antusias bukan pula karena pidato itu sangat utopis, terutama menyangkut masalah kemerdekaan Palestina. Jokowi memang belum secuil pun menjelaskan langkah implementatif untuk kemerdekaan Palestina. Sebagaimana diungkap pengamat Komunikasi Politik, Tjipta Lesmana.

"Pidato Pak Jokowi sangat sangat bagus sekali. Tapi sayang isi pidatonya tidak ada secuil pun yang menjelaskan langkah implementatif untuk kemerdekaan Palestina. Ini bisa jadi mengawang-awang dan utopis," jelas Tjipta.

Menurutnya, seruan untuk kemerdekaan Palestina oleh Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Seruan ini juga pernah disampaikan oleh presiden Indonesia sebelumnya. Bahkan mantan presiden Amerika Serikat juga mendukung kemerdekaan Palestina.

"Seruan ini pernah disampaikan Gusdur hingga SBY. Bahkan Bush saja yang katanya zionis pun mendukung kemerdekaan Palestina. Tapi buktinya hingga saat ini belum merdeka juga. Ada apa ini? Why and why?" katanya.

Lebih lanjut, Tjipta menyangsikan pidato presiden yang tidak menjelaskan poin-poin apa yang akan dilakukan, baginya itu hanya sekedar angin surga yang hambar.

"PBB pasti mendengarkan pidato Pak Jokowi, tapi itu terasa minim arti. Dengar saja sambut tepuk tangan peserta KAA juga tidak menggelegar dan terdengar hambar," ujarnya.

Pemerintah Indonesia selama ini juga sedikit sekali perannya dalam memberikan bantuan kemanusiaan yang juga diperlukan rakyat Palestina, di samping dukungan politik. Jauh lebih banyak bantuan yang diberikan oleh rakyat Indonesia kepada Palestina melalui berbagai badan sosial.

Lalu apa pasalnya, sehingga relawan dan pendukung tidak antusias dan tidak gegap gempita?

Di sela-sela hiruk-pikuk Konferensi Asia-Afrika, ada kejadian yang membuat banyak orang masygul. Hari Rabu 22 April 2015, Komjen Budi Gunawan (BG) resmi menjadi Wakapolri setelah beliau dilantik secara tertutup di ruang rapat Kapolri di Gedung Utama Mabes Polri oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Padahal, sebelumnya pelantikan BG menjadi Kapolri resmi dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo dengan alasan telah menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat, dan dalam rangka menciptakan ketenangan di masyarakat.

Ikhwal timbulnya perdebatan itu berawal dari status BG yang ditersangkakan oleh KPK dalam kasus korupsi. Status tersangkanya kemudian dianulir oleh pengadilan, namun kasusnya tetap diproses. Artinya, status tersangka dicabut bukan berarti BG dianggap sudah “bersih”. Dalam posisi itulah Presiden membatalkan pelantikan BG.

KPK kemudian melimpahkan perkara BG berikut bukti-buktinya ke Kejaksaan Agung. Kejagung kemudian melimpahkannya lagi ke Polri. Polri sedianya akan mengadakan gelar perkara kasus BG ini, namun belum terlaksana. Dalam posisi yang juga masih sama, yakni masih menjalani proses hukum dan belum pasti “besih” itulah BG dilantik sebagai Wakapolri.

Apakah Presiden tidak tahu BG dicalonkan dan kecolongan? Jelas tidak.

Pada tanggal 16 April 2015, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno menyatakan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tertinggi (Wanjakti) telah mengajukan satu nama calon Wakil Kepala Kepolisian RI kepada Presiden Jokowi.

“Saya melihat satu nama yang diajukan pada Presiden, karena Wanjakti ini semacam Tim Penilai Akhir. Kalau di TNI dan Polri ada beberapa calon yang mengerucut satu,” ujar Tedjo di Kompleks Istana Kepresidenan.

Ketika ditanya apakah Wanjakti mengusulkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Wakapolri, Tedjo tak menampik dan hanya mengatakan apa yang diusulkan Wanjakti merupakan usulan terbaik.

Apakah Presiden tidak berwenang memutus siapa calon Wakapolri? Jelas tidak.

Menurut Tedjo, Presiden berwenang untuk menolak maupun menerima secara langsung usulan Wakapolri yang diajukan Wanjakti. “Beliau bisa saja mengatakan ya atau tidak, tapi biasanya yang dipilih oleh Wanjakti adalah yang terbaik,” kata Menkopolhukam ini.

Hal itu juga diperkuat oleh pernyataan Badrodin Haiti, bahwa nama Wakapolri terserah pilihan Presiden.

“Ya melalui proses sebagaimana yang berlaku, artinya di lingkungan Polri juga ada Wanjakti kemudian setelah Wanjakti beberapa orang yang diajukan, kemudian diajukan ke presiden, mana yang disetujui ya terserah bapak presiden,” terang Badrodin.

Walhasil, tidak gegap gempitanya relawan dan pendukung menyambut pidato Jokowi di KAA, maupun tidak terlalu gaduhnya mereka menyikapi "lolosnya" BG menjadi Wakapolri, bisa jadi gambaran sikap apatis. Bagi mereka, pidato Jokowi di KAA, sama halnya dengan pidato tentang revolusi mental, trisakti dan nawacita, tak lebih hanya sebatas retorika dan angin surga belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun