Mohon tunggu...
Rizal Amri
Rizal Amri Mohon Tunggu... -

Pengamat barang kerajinan dan rajin mengamati peristiwa politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kongres PDIP: Ini Penyebab Jokowi Tak Dibolehkan Pidato

10 April 2015   09:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:18 4084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sumber:detik.com)

Unik, inilah kata yang tepat untuk menggambarkan Kongres IV PDIP di Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Bali, pada hari Kamis 9 Apris 2015. Pertama, lebih tepatnya disebut perhelatan ketimbang kongres. Arti kata "kongres" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah  pertemuan atau rapat akbar para wakil organisasi (politik, sosial, profesi) untuk mendiskusikan dan mengambil keputusan mengenai pelbagai masalah. Sementara itu, agenda utama kongres PDIP, sebagaimana disebutkan oleh Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Ahmad Basarah, adalah untuk mengukuhkan kembali Megawati sebagai Ketua Umum periode berikutnya. Artinya, tidak ada lagi diskusi dan keputusan sudah diambil.

"Agenda utama kongres ke IV di Bali adalah mengukuhkan Ibu Megawati sebagai ketua umum. Hal tersebut masih sama dengan hasil rapat kerja nasional PDI-P yang digelar di Semarang tahun 2014 lalu yang meminta agar Megawati bersedia kembali menjadi ketua umum," ujar Basarah saat konferensi pers di Kantor DPP PDIP Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Keunikan kedua, panitia kongres mengundang pejabat tinggi negara hingga Ketua MPR, namun tidak mengundang Presiden Republik Indonesia yang juga adalah kader PDIP sendiri. Joko Widodo memang hadir di kongres, namun kedatangannya pada hari kerja itu, bukan dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara. Kali ini Jokowi harus puas diundang hanya sebagai sebagai kader biasa partai. Hal itu tercermin pula dari sikap panitia yang tidak mengindahkan aturan protokoler negara dalam menyambut Presiden Joko Widodo. Menurut Buku Pedoman Protokol Negara (2005), acara resmi non kenegaraan seperti upacara Pembukaan Seminar, Kongres, dll, yang dihadiri Presiden, termasuk yang mesti menempatkan seseorang sesuai dengan jabatan dan atau kedudukannya dalam negara. Dalam protokoler diatur “Préseance” yaitu urutan siapa yang berhak mendapatkan prioritas karena jabatan/pangkat (VIP) atau karena derajadnya (VIC-Very Important Citizen). Diantara aturan protokoler itu disebutkan, orang yang paling tinggi kedudukannya berhak mendapat urutan paling depan/mendahului. Sementara itu Joko Widodo yang mengenakan jaket merah lengan panjang khas PDIP, berjalan di belakang mengikuti Megawati yang berjalan di depan. Presiden Joko Widodo sudah terbang pagi sekali  pukul 06.15 dari Jakarta. Sementara itu Megawati datang terlambat 30 menit, sehingga pembukaan kongres yang sedianya dibuka pada jam 10:00, molor setengah jam. Menurut aturan protokoler, orang yang paling dihormati, semestinya datang paling akhir dan pulang paling dulu.

Hal yang juga menarik, selain tidak mendapat penghormatan laiknya Presiden, Joko Widodo juga tidak diberi kesempatan berpidato. Menurut Basarah, agenda pembukaan hanya mendengarkan pidato politik Megawati.

Berikut ini beberapa alasan logis, mengapa Jokowi tidak diperbolehkan berpidato:

1. Presiden Joko Widodo tidak diinginkan menjadi bintang yang lain pada acara kongres. Di sekitar lokasi bahkan tidak terlihat spanduk bergambar Joko Widodo. Hal ini tentu untuk meredam aspirasi-aspirasi yang menginginkan agar Jokowi menjadi salah satu kandidat Ketua Umum PDIP.

2. Sebagai partai penguasa, momen kongres semestinya menjadi ajang bagi PDIP untuk menyampaikan kepada masyarakat poin-poin keberhasilan pemerintahan selama 6 bulan pertama ini. Namun PDIP tampaknya menyadari bahwa belum ada prestasi siginifikan yang layak dibanggakan, khususnya menyangkut hajat Wong Cilik yang selama ini menjadi basis massa pemilih partai berlambang banteng ini. Faktanya, selama 6 bulan ini angka kemiskinan meningkat cukup signifikan. Hal ini sebagaimana disinyalir Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) yang meyakini tahun 2015 ini angka kemiskinan akan lebih tinggi. Pernyataan Ahok ini berdasarkan pengalamannya bahwa jumlah orang miskin meningkat pada tahun 2014 ketika inflasi mencapai 8,95 persen.

"Kenaikan angka inflasi ini berakibat terhadap meningkatnya angka garis kemiskinan 2014 sebesar Rp25.238 atau 5,8 persen dari tahun 2013. Kondisi ini diduga menambah jumlah penduduk miskin," jelasnya.

Tak hanya inflasi, Ahok juga mengkhawatirkan dampak kenaikan harga BBM.

"Karena ada kenaikan harga BBM segala, jadi naik imbasnya nih," tukas Ahok seakan merujuk pada kebijakan harga BBM pemerintahan Jokowi.

3. Pidato politik Presiden Joko Widodo bisa menjadi sesuatu yang "ngeri-ngeri sedap". Ngeri bagi PDIP dan sedap bagi media.

Joko Widodo dikhawatirkan di luar "skenario" berbicara menanggapi pidato politik Megawati. Misalnya poin mengenai kedudukan Presiden yang menurut Megawati hanya menjalankan kebijakan partai alias menjadi petugas partai. Jika Jokowi mengamini pidato Megawati ini, maka beliau tentu akan di"bully" lagi ramai-ramai oleh publik. Sebaliknya, jika Jokowi “menentang” perkataan Megawati, hal itu tentu tidak akan mengenakkan bagi Ketua Umum partainya ini. Maka, untuk menghindari munculnya simalakama ini, paling aman memang cukuplah Jokowi datang dan duduk manis sahaja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun