Mohon tunggu...
Amas Brilian
Amas Brilian Mohon Tunggu... -

suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendidikan Tinggi "sedikit umum"

1 September 2014   07:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:56 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendidikan

Selayang pandang dunia mahasiswa, hipokrit bebas dalam konteks kuliah. Baru-baru ini paradigma mahasiswa dikejutkan dengan sebuah peraturan baru dari kemendibud tentang batas maksimal dalam menempuh bangku kuliah dalam Peraturan Meteri UU nomor 49 Tahun 2014. Standar mutu pendidikan tinggi yang termaktub untuk S1 dengan 144 SKS ditempuh 4-5 tahun maksimal, S2 dari 30 ke 72 SKS ditempuh dalam waktu 1,5-4 tahun maksimal. Banyak tinjauan kritis terhadap peraturan baru ini dari kalangan mahasiswa, aktifis, dan pengamat pendidikan. Pro dan kontra muncul secara spontan.

Analisa sederhana mengenai hal ini, subsidi di perguruan tinggi semakin tidak jelas arah fluktuasi dengan adanya mahasiswa yang dianggap tidak kompeten dengan apa yang ditempuhnya. Semkain banyak mahasiswa yang molor dikarenakan beberapa faktor dianggap sebagai beban negara. Penekanan angka beban negara melalui strategi kreatif dari pemerintah melalui subjektifitas sistem terkait. Mereka rasa  dengan pemotongan batas waktu yang ditentukan, mampu menekan angka “sarjana tua”. Tetapi, dalam beberapa pasal disebutkan bahwa mereka yang lulus sudah siap akan sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Doktrin simple untuk mengubah ‘mindset’ kaum terpelajar. Motif yang diedarkan di kajian ini berupa APBN yang sekian persen terserap di Pendidikan Tinggi. Kekhawatiran fundamental dalih menghemat anggaran negara sebagai taruhan di kaum terdidik.

Analisa kedua menyikapi rumor ini, Indonesia masuk tahun produktif untuk negara berkembang melalui cermin demografi penduduk. Tahun 2020-2045 masa emas yang katanya 70% penduduknya usia produktif, mulai mengepakkan sayap. Diawali dengan berbagai hantaman isu seperti AFTA, pasar bebas Asia bahakan Dunia, AEC, dll. Kesigapan pemerintah untuk menyiapkan tenaga ahli dan terampil.

250 kata

Jika kita refleksi ke sejarah pendidikan, kualitas dan mutu pendidikan sudah diatur dalam standar negara Belanda. Belanda dengan label “kumpeni” istilah industerialisasi lahan Indonesia yang membutuhkan tenaga ahli dan perkerja terampil dari penduduk pribumi. Akhirnya, mereka mendirikan sekolah-sekolah yang dimotori oleh Belanda. Mungkin secuplik sejarah ini mengantar pada BS 5750 standar pendidikan Belanda dan ISO 9001. Sinkretisme pendidikan Indonesia melalui kultur dan budaya “penjajahan” sehingga ‘output’ normatifkah pendidikan dewasa.

Kontrol yang serius untuk mengembangkan pola pemikiran antara kaum terdidik dan tidak. Masalah masyarakan yang membutuhkan sesosok perubah peradaban yang didamba-dambakan. Tidak cukup ketika harus kuliah mengejar nilai akademik, yang kedepannya mereka malah Apatis dan tidak peka kondisi lingkungan. Kurang siapnya mental, karena terlalu dini untuk terjun di masyarakat. Kematangan belum didapat secara utuh di bangku kuliah. Akhirnya, perjuangan dalam mensejahterakan masyarakat hanya menjadi doktrin wacana pada setiap ospek oleh senior-senior bahkan dosen-dosen yang belum merasakan suasana lingkungan.

Politik praktis selalu jadi soal utama. Kaum awam menduduki kursi, bertitle “sarjana” dengan mudahnya menerapka kebijakan yang tidak masuk sama sekali secara sosial. Dampak yang tidak langsung menuju otoritas daerah terendah. Supply informasi yang kurang merata di setiap sudut perkampungan. Itulah problem pendidikan dari segala sisi, menuntut orang untuk belaku “pintar secara” bidang tertentu.

450 kata

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun