Salah satu masalah yang sangat mendesak untuk diselesaikan di republik ini adalah persoalan tata kelola penegakan hukum. Tata kelola penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Birokrasi mengenai perkara di masing-masing institusi penegak hukum membuat penegakan hukum di Indonesia terlihat parsial dan tidak terintegrasi. Akibat dari tata kelola penegakan hukum yang buruk, menurut kajian KPK kasus overstay di Lembaga Pemasyarakatan mencapai 25.000 orang.Â
 Secara teoritis, suatu sistem hukum menurut Friedman bisa dilihat dari 3 hal yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Substansi hukum berkaitan dengan peraturan, undang-undang, atau keputusan hukum yang berlaku. Sementara itu, struktur hukum berkaitan dengan institusi yang membuat, melaksanakan, dan menegakan hukum tersebut dan kultur hukum terkait dengan nilai-nilai atau sikap yang mempengaruhi bekerjanya suatu hukum. Kultur hukum dibagi lagi menjadi dua yaitu kultur hukum internal dan kultur hukum eksternal. Kultur hukum internal yaitu bagaimana sikap dan nilai-nilai para penegak hukum dalam menegakan hukum dan kultur hukum eksternal yaitu terkait dengan sikap dan nilai masyarakat dalam mematuhi suatu hukum.  Â
Apabila dikaitan dengan teori sistem hukum dari Friedman, maka penegakan hukum termasuk dalam kultur hukum. Penegakan hukum baik akan mempengaruhi kultur hukum di masyarakat sehingga masyarakat mengerti apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Oleh sebab itu, agar upaya penegakan hukum di Indonesia menjadi lebih baik salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki tata kelola (governance) dalam penegakan hukum di Indonesia. Untuk memperbaiki tata kelola dalam penegakan hukum di Indonesia Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Starategi Pencegahan Nasional Pidana Korupsi atau yang lebih dikenal dengan Stranas PK. Stranas PK fokus kepada 3 aspek yaitu Perizinan dan Tata Niaga, Keuangan Negara, dan Penegakan Hukum dan Reformasi Birokrasi. Salah satu Aksi PK dari Stranas PK terkait dengan penegakan hukum yaitu Aksi PK Nomor 13 Penguatan Integritas Penanganan Perkara Pidana. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mendorong Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) di setiap institusi penegak hukum. SPPT-TI pada prinsipnya merupakan portal yang bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran data dari berbagai institusi penegak hukum. Sehingga dengan adanya portal bersama, para pihak atau masing-masing institusi penegak hukum bisa mengakses informasi mengenai status perkara yang sedang berjalan. Walaupun sudah didorong sejak tahun 2019, progress dari SPPT-TI masih sangat lambat. Hal ini dikarenakan masih kurangnya komitmen institusi penegak hukum dalam mewujudkan SPPT-TI ini.
Optimalisasi E-Berpadu
Dalam mendukung SPPT-TI, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 04 tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (selanjutnya disebut Perma Sidang Elektronik). Perma Sidang Elektronik pada awalnya dikeluarkan sebagai bentuk respon terhadap kondisi pandemi Covid-19 yang mana pada waktu itu perlu ada kebijakan untuk membatasi orang untuk saling tidak bertemu namun pelayanan publik di pengadilan harus tetap berjalan. Setelah pandemi Covid-19 sudah berakhir, Mahkamah Agung menjadikan Perma Sidang Elektronik sebagai dasar untuk mengeluarkan kebijakan E-Berpadu. Mengenai E-Berpadu sendiri diatur melalui Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 239/KMA/SK/VIII/2022.
E-Berpadu pada prinsipnya memoderenisasi administrasi perkara di pengadilan sehingga berkas perkara pidana tidak perlu lagi dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum secara manual namun melalui aplikasi E-Berpadu. E-Berpadu membantu proses administrasi perkara pidana menjadi lebih efektif dan efisien. Namun, yang menjadi permasalahan adalah E-Berpadu hanya berlaku di institusi pengadilan tidak untuk institusi penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan sehingga dalam implementasinya masih ditemukan permasalahan terkait koordinasi berkas perkara antara pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian. Oleh sebab itu, menurut penulis salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk mendukung terciptanya SPPT-TI adalah dengan mengintegrasikan aplikasi E-Berpadu yang saat ini sudah diterapkan di pengadilan ke dalam portal SPPT-TI. Namun, hal yang perlu dilakukan sebelum integrasi adalah harus dilakukan terlebih dahulu digitalisasi dan standardisasi berkas perkara dari tahap penyidikan sampai pelimpahan di pengadilan. Digitalisasi dan standardisasi ini bertujuan agar data yang terdapat di berkas perkara bisa divalidasi sehingga tidak mudah untuk dimanipulasi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Selama ini yang selalu menjadi permasalahan terkait dengan SPPT-TI ini adalah ego sektoral masing-masing institusi penegak hukum. Oleh sebab itu, untuk mendorong digitalisasi dan standardisasi ini dibutuhkan koordinasi yang baik lintas sektoral antar institusi penegak hukum.
Selain terkait koordinasi, selanjutnya yang perlu dilakukan adalah integrasi aplikasi antar institusi penegak hukum yang ada selama ini. Seharusnya, masing-masing aplikasi yang terdapat di masing-masing institusi penegak hukum terhubung juga dengan portal SPPT-TI sehingga antar institusi penegak hukum bisa melihat bagaimana jalannya suatu perkara pidana. Selain itu, untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas data suatu perkara menurut penulis perlu ada situs yang bisa diakses oleh masyarakat terkait dengan data suatu perkara sehingga masyarakat bisa berpartisipasi dalam pembenahan tata kelola penegakan hukum apabila ditemukan suatu kesalahan yang dilakukan oleh institusi penegak hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H