Bagi saya, kunjungan ini merupakan untuk kedua kalinya dilakukan. Kunjungan pertama saya adalah 14 tahun yang lalu , yaitu pada tahun 2001 saat datang bersama rombongan peserta Seminar Menyelusuri Jejak Hamzah Fansuri dari Banda Aceh, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh Singkil bersama Fakultas Adab UIN Ar Raniry Banda Aceh. Seminar ini di buka oleh Wapres dimasa itu, yakni Bapak Hamzah Haz.
Sekilas tak ada yang istimewa dengan kampung ini, sebuah pelosok dengan akses jalan yang belum begitu baik. Sepanjang perjalanan kita akan melewati perkebunan warga yang sepi dan lengang. Ada rasa-rasa takut dan was was saat melintas dijalan ini, apalagi perjalanan ini saya lakukan sendiri. Sepanjang perjalanan saya tidak menemukan seorang pun anak manusia yang melintas. Awalnya saya ragu-ragu dan berniat untuk kembali, tapi rasanya perjalanan ini sudah jauh saya tempuh dan bahkan sudah lama niat terpendam untuk datang kemari, dan tentu saya tak ingin perjalanan ini terancam gagal hanya karena ketakutan-ketakutan kecilku. Jika tidak karena jasad tokoh besar itu yang “bersemayam” di Kampung ini mungkin aku sudah memacu jalan untuk kembali.
Satu-satunya alasan orang luar berkunjung kemari adalah karena tokoh besar yang saya sebutkan pada paragraf diatas, di Desa ini tersimpan kekayaan sejarah yang tak ternilai yaitu salah satu Ulama Sufi terbesar dikerajaan Aceh Darussalam dahulu, yang telah menggucang dunia melayu dengan karya sastra besarnya terkubur disini yaitu Syeh Hamzah Fansuri.
Sejak dimekarkannya Kota Subulussalam dari Kabupaten induknya Aceh Singkil, pembangunan sudah mulai menyentuh daerah-daerah pelosok ini , yang sebagian besar berada pada aliran sungai, yakni sungai “Soraya” ( Sungai Alas ) yang lebar dan mengalir deras. Setelah melewati jalan sekira 4 km melewati semak dan hutan sampailah kekampung ini, sebuah kampung kecil yang berada dibibir sungai.
Harus diakui, bahwa Hamzah Fansuri, karya-karnya bukan hanya dikenang pada zamannya tetapi terus menjadi bahan kajian para ilmuan diperguruan sampai saat ini. Nama Hamzah Fansuri masuk ke dalam pemikir yang tidak hanya berhasil di dalam dunia tasawwuf, tetapi juga di dalam dunia sastra. Bahkan Prof Dr. Naguib Alatas dalam bukunya “The Mysticcism of Hamzah Fansuri” mengatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah Pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII, penyair Sufi yang tidak ada taranya pada zaman itu. Hamzah Fansuri adalah “Jalaluddin Rumi”-nya kepulauan Nusantara. Bahkan, menurut Naguib, Hamzah Fansuri adalah pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu.
Setelah berkeliling sekedarnya, saya pun berpamit kepada warga setempat untuk kembali. Sepanjang perjalanan ini saya diselimuti rasa takjub, haru dan entah rasa apa lagi tentang tokoh ini. Jika benar jasad penyair sufi itu terkubur disini, sungguh hanya kesederhanaan sajalah yang kita temukan ditempat ini, walaupun saya tahu nama besarnya telah menghiasi beribu ribu lembaran buku yang mengulas karya nya dari zaman ke zaman. Dari Kampung Oboh, seribu misteri tentang Hamzah Fansuri belum semuanya terpecahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H