Setelah membaca sebuah artikel dan data tentang dimensi tubuh rata-rata para pesenam yang berlaga di ajang Olimpiade dan memenangkan medali emas, saya mengetahui mengapa tubuh para pesenam unggulan itu rata-rata pendek. Makin pendek, bisa dikatakan berpeluang makin baik dalam arena kompetisi senam. Dan memang demikian adanya.
“Manlet”: Si Pendek Kekar yang Proporsional
Seorang pesenam pria asal Slovenia bernama Leon Stukelj yang memenangkan medali emas terakhirnya di usia 37 tahun tingginya hanya 5 kaki 5 inci, sebuah ukuran tinggi badan yang tergolong kurang bagi standar ras Kaukasia. Leon memiliki sejarah karir yang panjang di laga Olimpiade dan meninggal 4 hari sebelum ulang tahunnya yang ke 101. Menakjubkan bukan?
Sementara itu, pesenam Kohei Uchimura dari Jepang pemenang medali emas Olimpiade malah tinggi badannya cuma 5 kaki 3 inci. Meskipun secara fisik kedua pesenam pria ini sangat bugar dan baik, masing-masing tampaknya memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Tubuh Leon (di tahun 1924) lebih tinggi 2 inci tetapi bahu dan lengannya kurang berotot. Kohei (tahun 2012) lebih pendek tetapi memiliki bahu dan lengan yang lebih kokoh. Hal itu mungkin karena pengaruh latihan sehari-hari yang berbeda. Menurut pengamatan sekilas saya, Leon lebih mengandalkan ketangkasan dan Kohei lebih banyak menjurus pada kekuatan tubuh bagian atas.
image
Disimpulkan pula bahwa dari pengukuran indeks massa tubuh yang dilakukan pada para atlet senam ini, trennya dari masa ke masa menunjukkan penurunan (sumber: Mag Bodies). Kohei, misalnya, hanya memiliki indeks massa tubuh sekitar 20. Dan sebagai perbandingan, indeks massa tubuh pria Amerika Serikat ialah 32 di era yang sama. Apakah ada hubungannya dengan pola latihan atau pola diet, jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari? Hmm, tampaknya dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang hal itu.
Perihal tinggi badan, para atlet senam secara umum berperawakan pendek. Dengan tubuh yang lebih kecil, gerakan seorang pesenam akan jauh lebih efisien. Masih menurut data yang disusun Mag Bodies, dibandingkan tinggi badan rata-rata atlet pria cabang olahraga lainnya di Olimpiade, tinggi rata-rata atlet senam berada di jajaran terbawah. Mereka lebih kecil dari kebanyakan olahragawan sampai sebagian orang menyebut pesenam laki-laki ini sebagai “manlet” (dengan analogi babi “pig” dan anak babi “piglet”). Tetapi kebugaran dan bentuk tubuh secara keseluruhan atlet-atlet senam ini tidak perlu diragukan lagi. Mereka tampak lebih proporsional dan kokoh meskipun kecil dan pendek.
Bagaimana dengan YOGI?
Menilik dari dunia senam, saya pun tergelitik untuk melontarkan pertanyaan yang serupa:”Seperti apa tubuh ideal seorang yogi agar ia mampu berasana demikian lincah, kuat, lentur dan memiliki daya tahan yang tinggi pada saat bersamaan?”
Pernah suatu kali seorang teman bercerita ia mengetahui kelenturan di atas rata-rata seseorang dari caranya duduk saja. Saya pikir, hebat sekali dia! Tetapi apakah mengetahui kepiawaian seseorang beryoga (baca: berasana) bisa dilakukan tanpa harus melihatnya berasana? Entahlah, saya belum pernah mencoba dan memang mustahil untuk memberikan vonis pasti itu. Di saat bertemu teman-teman yoga baru, sering saya mendapati ‘kejutan-kejutan’ yang sebetulnya tidak mengejutkan tetapi terasa mengejutkan karena saya sudah memberikan cap pada seseorang dengan berdasarkan pada penilaian sekilas bentuk dan proporsi tubuhnya. “Ah, dia berpinggul lebar dan besar pasti dia tidak bisa headstand,”batin saya, tetapi orang itu bisa. Di kesempatan lain, saya mencap seseorang,”Wah, lengan, bahu dan telapak tangannya kokoh dan besar, pasti dia bisa handstand dengan mudah!” Begitu gumam saya suatu saat melihat seseorang di kelas tetapi ternyata jangankan handstand, teman tersebut saja kerepotan saat melakukan bakasana (bird pose).
Pengamatan saya pun selama ini menghasilkan satu hipotesis: tinggi badan seorang yogi idealnya tidak lebih dari 170 cm agar bisa bermanuver dengan lebih leluasa. Ambil contoh guru yoga dari AS Kathryn Budig yang memiliki bentuk badan yang lumayan pendek (untuk standar Kaukasia) dan berpinggul besar (saya pernah menonton dan membandingkannya dengan tubuh para muridnya yang lebih tinggi dalam sebuah video yang menunjukkan ia saat mengajar). Tetapi ia mampu mengimbangi besarnya tubuh bagian bawah dengan kekuatan tubuh bagian atas yang membuat Budig cukup lihai di pose-pose arm balance yang membutuhkan tangan, lengan dan bahu yang kuat serta inversi. Sementara itu, Tiffany Cruikshank yang pernah saya temui di Namaste Festival 2013 tidaklah begitu semampai, mungkin maksimal hanya 170 cm atau 5 kaki 5 inci. Dan lain dari Budig, hampir tidak ada lemak di tubuh Cruikshank. Kekuatan ototnya baik tetapi tidak sampai tampak kekar sekali. Pas. Femininely strong. Briohny Smith juga tergolong pendek. Ia lebih pendek dari suaminya Dice, yang membuat saya yakin ia hanya bertinggi badan cuma 160-an cm. Jarang sekali saya menyaksikan guru yoga yang hebat berasana tetapi badannya tinggi besar seperti model catwalk. Bahkan Dice Iida-Klein juga tidak setinggi yang saya bayangkan. Hanya dalam kisaran 5 kaki 6 inci atau 170 cm lebih tetapi tidak sampai 6 kaki atau 180-an cm. Dan ketrampilan berasana Dice patut diapresiasi. Di sisi lain, guru yoga yang berfokus pada nafas Leslie Kaminoff tingginya menjulang sampai lebih dari 6 kaki! Saya tahu karena saya pernah berfoto dengannya dan ia begitu semampai di samping saya. Dan saya amati Kaminoff tidak begitu piawai dalam berasana, tetapi ia memiliki kelebihan sendiri yaitu pranayama dan metode berasana yang lebih aman (baca: tidak bermanuver gila-gilaan dengan menekuk, memelintir atau membalik tubuh). Hipotesis itu pun makin solid saat saya menyaksikan Kaminoff melakukan kayang (urdhva dhanurasana). Struktur tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh yang tipikal pria