Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saat Yahudi Pergi Berhaji (Kisah Hidup Muhammad Asad)

11 September 2016   21:44 Diperbarui: 11 September 2016   22:16 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Tak akan pernah lagi, tak akan pernah lagi, tak akan pernah lagi kau akan dianggap sebagai orang asing!”

Begitu tulis Muhammad Asad dalam catatan perjalanannya sebagai seorang jamaah haji. Dalam goresan penanya, ia menggambarkan sebuah momen emosional saat sedang menjelajah jazirah Arab bersama rombongan karavan untanya yang didominasi kaum Badui dalam sebuah perjalanan suci ke Tanah Suci. Ia menghabiskan enam tahun berkelana di sana jauh dari tanah kelahirannya di jantung Eropa. Di jurnal pribadinya Asad juga menumpahkan perasaannya sebagai seorang muslim yang selalu dianggap sebagai “orang asing” (baca : kaum kafir).

Latar belakang Asad unik. Ia seorang manusia yang terjebak antara dua dunia yang kerap dipertentangkan tetapi saling berkelindan. Meski terlahir sebagai seorang Yahudi, pria yang bernama asli Leopold Weiss itu kemudian berpindah keyakinan menjadi pemeluk Islam.  Dibesarkan dengan atmosfer intelektualitas yang kental khas Eropa, Asad yang masih muallaf kemudian perlahan-lahan muncul sebagai salah satu tokoh berpengaruh dalam dunia Muslim.

Weiss lahir di kota Lwow di tahun 1900 dalam sebuah keluarga relijius. Ia keturunan langsung dari keluarga para rabbi dan pengacara. Mengingat latar belakang pendidikan keluarganya ini, tidak heran Weiss sejak belia sudah kenal dengan ilmu pengetahuan dan kemudian tumbuh sebagai pemuda dengan semangat meluap dalam masalah spiritual. Weiss sangat menyukai sejarah dan filsafat. Di kemudian hari, ia menghabiskan hayatnya untuk menjadi tokoh utama dalam kisah-kisah petualangan pribadinya, menulis buku-buku tentang dunia Islam dan pengalamannya sebagai seorang diplomat.

Saat mahasiswa, Weiss menuntut ilmu sejarah dan filsafat di University of Vienna kemudian bergabung dalam lingkungan seniman dan kaum cendekiawan di Café des Westens, Berlin, Jerman. Sejak muda, ia sudah tertarik dengan hal-hal berbau Timur. Semasa bekerja sebagai pewarta untuk kantor berita United Telegraph dan Frankfurter Zeitung, ia banyak menulis soal penjelajahannya di Timur, dan kemudian mengumpulkan tulisan-tulisan jurnalistiknya itu dalam, sebuah buku berjudul “The Unromanticized East”. Kenyang menjelajah Suriah, Irak, Iran, Afghanistan dan Asia, ia kembali ke Berlin tahun 1926 dan ia kembali dengan sebuah nama besar dalam dunia jurnalistik.  

Weiss menikahi Elsa Weiss yang seorang pelukis Jerman dan keduanya beralih keyakinan sebagai seorang muslim. Mereka menjadi muallaf saat masih bermukim di Berlin yang saat itu mulai disesaki dengan gelombang kebencian terhadap kaum Yahudi. Weiss dikatakan mulai membenci Barat dan mendekat ke Islam setelah menyaksikan adanya semangat anti Semit dan totalitarianisme yang merajai Eropa kala itu. Sebagai pemikir yang seimbang dalam hal rasio dan spiritual, Asad sejak muda memang dikenal gemar mencari jalur menuju kehidupan yang menujukkan koherensi antara logika dan spiritual. Dan menurut pandangannya, Islam mampu memenuhi kebutuhannya itu.

Pasca beralih ke Islam di usia 26 tahun, Weiss yang kemudian berganti nama menjadi Asad makin terdorong menjelajahi dunia Islam di Timur. Kelak latar belakang dan statusnya sebagai muslim membuatnya terus dibayang-bayangi pertanyaan mengenai ke-Islama-annya. Apakah ia melakukannya semata hanya untuk memuaskan keingintahuan sebagai intelektual, penjelajah yang ingin melebur sempurna bersama masyarakat yang dicermatinya, atau memang dari panggilan murni dari hati nurani? Terlepas dari motifnya masuk Islam (karena hanya Tuhan dan Asad sendiri yang tahu yang sesungguhnya), Asad kemudian menjadikan perjalanan hajinya sebagai sebuah puncak dari pengalaman spiritualnya sebagai seorang muslim dalam memoarnya “The Road to Mecca” yang diterbitkan tahun 1954.

Buku ini ia klaim sebagai sebuah karya yang berisi “kisah penemuan Islam oleh seorang warga Eropa dan bagaimana ia bisa menyatu dengan masyarakat Islam”. Meski Asad berpikir kisah perjalanan hajinya itu hanya menarik bagi dirinya sendiri seperti ia tulis di bagian pembukaan, ternyata karya tulisnya itu menjadi salah satu catatan perjalanan haji terpopuler di dunia Muslim saat ini.

Dalam memoarnya, ia menuliskan pergulatan pribadinya sebelum menikahi Elsa. Dan menurut saya kisah cintanya ada kemiripan dengan Nabi Muhammad, karena Asad menikahi Elsa yang berusia 15 tahun lebih tua. Saat itu Elsa berumur lebih dari 40 tahun dan Asad belum genap 26 tahun. Namun, karena Asad mampu meyakinkan Elsa, akhirnya mereka menikah juga. Tidak dijelaskan apakah Elsa juga seorang janda dan pedagang sukses juga tetapi berdasarkan rentang usia, pasangan ini mirip usia Nabi Muhammad dan Siti Khadijah saat mereka menikah. Apakah Asad memang berniat menjalani teladan Rosul? Saya belum bisa memastikannya. Tapi kebetulan ini sungguh menarik.

Kenangan haji Asad sarat dengan deskripsi detail soal kondisi kota dan masyarakat Mekah saat itu. Karena Asad sudah menyaksikan sendiri kondisi masyarakat di negara-negara muslim lain, ia tidak begitu syok dan sedikit sekali dalam catatannya ditemukan pengalaman gegar budaya. Asad bisa berbahasa lokal dan melebur dengan mulus bersama masyarakat setempat. Sayangnya istrinya tidak seadaptif dirinya yang sudah terbiasa bepergian dan tinggal di suasana asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun