Kaum Hawa terutama mereka yang mengaku feminis sering mengeluhkan bahwa sepanjang peradaban manusia, pakaian wanita adalah salah satu isu yang paling sering diperdebatkan. Wanita kerap dihakimi berdasarkan apa yang mereka kenakan. Dengan mencuatnya kasus pelarangan pemakaian burkini di Perancis, isu laten ini mengemuka kembali. Dan memang harus diakui tak peduli seberapa majunya masyarakat kita, penampilan wanita masih akan terus dicermati, dikomentari, dikritik, dievaluasi dan dicemooh daripada penampilan pria.
Tapi tidak di Aceh.
Sementara kita masih bisa menemui standar ganda di sejumlah besar pelosok dunia perihal busana berdasarkan gender, di negeri Tanah Rencong ini kita masih bisa temukan kode busana yang ketat baik bagi pria dan perempuan.
Hal itu dibuktikan seorang teman saya yang kebetulan berkebangsaan asing. Lahir dan tumbuh di Amerika Serikat dan menghabiskan 3 dekade hidupnya di Taiwan, pria ini menjelajahi berbagai pelosok dunia sejak muda. Maklum saja, ia berasal dari keluarga kaya raya.
Dalam sebuah kesempatan ia mengunjungi Banda Aceh dan sempat bersantai di sekitar pantai di sana.Tak takut dengan kenangan tsunami, teman saya ini malah girang begitu melihat air laut di depannya. Air membuat anak kecil di dalam jiwanya bersemangat meski secara fisik usianya sudah masuk kepala enam.
Ia pun mengeluarkan celana renang yang biasa ia kenakan di kolam renang di hotel-hotel yang ia kunjungi selama dalam perjalanan. Lalu tanpa ragu, ia menceburkan diri ke ombak yang berdebur di bibir pantai.
Tak berapa lama berselang, ia dihampiri seorang pria lokal. Pakaiannya berseragam. Polisi syariah rupanya. Dalam bahasa lokal yang teman saya tak pahami sama sekali, ia menyampaikan peringatan.
“Pak, tolong jangan pakai celana renang itu!” larang si polisi.
Dengan bantuan seorang teman sekaligus pemandunya yang paham bahasa lokal, pria Taiwan itu kemudian menjawab dalam bahasa Inggris,”Baiklah, tapi saya mau tanya kenapa tidak boleh. Apa alasannya?"
"Karena celana yang Anda pakai terlalu pendek!” tegas si polisi syariah itu.
Celana renang pria Taiwan itu memang ketat dan pendek. Untuk memberikan gambaran sekilas, Anda bisa membayangkan celana renang itu seperti celana yang dipakai oleh para atlet loncat indah, polo air dan renang di Olimpiade Rio lalu. Hanya menutupi pinggul dan bokong. Bagian perut di bawah pusar, kedua paha dan lutut terumbar begitu saja. Sama sekali tidak memenuhi syarat pakaian ideal dan syariah dalam Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam pasal 13 yang mewajibkan semua orang Islam wajib berbusana Islami. Teguran itu jelas masuk akal karena teman saya tidak menutupi auratnya sebagai pria, yang membentang dari pusar sampai ke lutut.