Saya memiliki sebuah kelas yoga yang secara rutin saya ajar secara daring/ remote tiap akhir pekan. Kelas ini sudah terbentuk sejak pandemi 2020 lalu secara organik. Mulanya saya mengajar satu orang lalu ia mengajak teman-temannya yang juga mencandu yoga.
Grup yoga satu ini terbilang konstan dan konsisten dalam berlatih. Itu karena si pentolan grupnya memang punya sifat konsisten. Jadi yang lain juga turut terpacu. Biasanya kalau si pentolan mengalami perlemahan semangat, grupnya akan bubar sendiri. Untungnya di sini tidak. Sebagai guru, saya sesungguhnya terbantu dengan adanya si pentolan ini sebab sebagai guru saya tak bisa memaksa murid untuk berlatih. Ia harus mau dari dalam. Tidak ada perasaan terpaksa.
Uniknya, lokasi kami tersebar di sejumlah negara. Si pentolan, sebut saja A, ini sebetulnya berdomisili di tanah air tapi kebetulan sedang berlibur di salah satu negara Eropa sana untuk mengunjungi mertuanya. Lalu seorang lainnya, B, baru saja pindah negara setelah sebelumnya bekerja di Jakarta. Dan satu orang lainnya, C, berdomisili di Amerika Serikat sana.
Untuk bisa menentukan jam latihan yoga, kami cukup pusing dalam berkompromi. Harus ada yang berkorban. Entah itu jamnya di zona waktu mereka terlalu pagi atau terlalu malam sedikit.
Benar saja. Kami akhirnya menetapkan waktu latihan yang agak kurang ideal sebetulnya. Di Eropa masih pukul 6 pagi. Lalu di Jakarta sudah pukul 10 pagi. Di Sydney sudah pukul 1 siang. Di San Fransisco sudah pukul 8 malam.
Singkat cerita kami kemarin pagi entah kenapa sehabis yoga, tidak langsung menutup laptop. Itu karena kami juga ingin mengucapkan belasungkawa untuk A yang kehilangan papa mertuanya.
Ia membeberkan betapa repotnya mengurus kematian di Bulgaria, yang notabene termasuk negara dunia pertama sebab secara de facto dan de jure Bulgaria masuk Uni Eropa.
Saya menyimak penjelasan dan keluhannya. A mengatakan administrasi dan birokrasi Bulgaria juga sama ribetnya dengan Indonesia. Petugas-petugasnya tak teliti dan seenaknya mencatat papa mertuanya sudah bercerai dari mamanya. Kekeliruan pencatatan sipil ini baru diketahui saat pihak keluarga ke kantor pemerintah setempat. Tentu saja dikatakan sudah bercerai padahal tak ada bukti dokumen resminya, mama mertua A mencak-mencak protes ke petugas catatan sipil yang dianggap tidak teliti.
Upaya pembetulan tak berjalan mulus sebab ternyata Bulgarian masuk puncak liburan musim panas. Dan di sana warga beramai-ramai ke pantai termasuk para PNS-nya. Termasuk para pegawai di kantor catatan sipil tersebut.
Kontan A makin jengkel karena kelancaran pengurusan kematian papa mertuanya menjadi tertunda padahal idealnya begitu seorang warga meninggal, harus segera diurus surat kematiannya untuk menutup rekening bank dan mengurusan nomor telepon landline yang dibuat atas nama si orang yang bersangkutan agar tidak ditutup negara. Mirip rasanya dengan kejengkelan saat petugas dukcapil sedang cuti haji di sini dan tidak ada petugas lain yang menggantikan/ menjadi cadangan. Sangat mengesalkan.