Baru-baru ini sebuah video tiktok viral karena di dalamnya Pandji Pragiwaksono geram dengan host siniar Total Politik, Arie Putra.Â
Sebabnya karena dalam percakapan tersebut Arie memberikan pemakluman terhadap nepotisme yang dilakukan para petinggi negara dan mengatakannya sebagai "hak asasi warga negara".
Pandji yang kita ketahui sangat tegas soal kekecewaannya terhadap sosok presiden yang tak cuma membiarkan tapi juga melakoni praktik nepotisme itu kemudian terpancing dan menanyakan apakah Arie menganggap nepotisme dan fenomena politik dinasti sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi bahkan harus didukung.
Arie kemudian berdalih bahwa sikap pro nepotismenya itu diambil karena ia meyakini bahwa nepotisme ialah bagian dari nilai-nilai Asia (Asian values). Dari sinilah kemudian viral istilah Asian Values di media sosial.Â
Sebagai bagian dari publik, kita pun diajak bertanya dan berpikir secara kritis: "Apakah benar nepotisme bagian dari nilai-nilai khas Asia?"
Apa itu Asian Values?
Sebelum membahas lebih lanjut mari kita definisikan Asian values atau nilai-nilai Asia yang dimaksud di sini.
Dikutip dari britannica.com dan imemo.com, nilai-nilai Asia mengacu pada nilai-nilai budaya dan prinsip-prinsip etika yang umumnya ditekankan dan dipraktikkan dalam banyak masyarakat dan budaya Asia.Â
Bila dirunut ke belakang, konsep nilai-nilai Asia dipopulerkan pada tahun 1990-an oleh para pemimpin politik terkemuka seperti Lee Kuan Yew dari Singapura dan Mahathir Mohamad dari Malaysia.Â
Kedua negarawan negeri jiran ini menyatakan bahwa nilai-nilai inilah yang memungkinkan bangsa-bangsa Asia mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mempertahankan stabilitas sosial di dalam negeri.Â
Elemen-elemen utama dari nilai-nilai Asia meliputi disiplin, kerja keras, kearifan, prestasi pendidikan, keseimbangan kebutuhan individu dan masyarakat, dan penghormatan terhadap otoritas berikut kepatuhan terhadap segala aturan/ normanya.
Beberapa contoh nilai-nilai Asia ialah menghormati orang yang lebih tua dan hierarki kekeluargaan, menjunjung tinggi kolektivisme dan orientasi kelompok, Â memelihara harmoni dan menghindari konflik, menghargai ketekunan, mengutamakan bakti kepada orang tua, mengedepankan kerendahan hati dan kesederhanaan, dan menghormati tradisi dan leluhur.
Nepotisme dan Filial Piety: Konsep yang Berbeda
Di suatu hari di tahun 2016 saya pernah mengikuti sebuah training mengenai budaya Timur (baca: Tionghoa) dan di situ saya menemukan istilah "filial piety", yang dari kacamata awam sama dengan berbakti pada orang tua dan setia pada saudara dan keluarga sendiri.
Tak bisa disangkal konsep filial piety ini memang agak beririsan dengan nepotisme.Â
Namun bila ditelaah secara cermat, nepotisme dan filial piety adalah dua konsep yang memang terkait dengan hubungan antara individu dan keluarga, tetapi memiliki makna dan implikasi yang jelas berbeda.
Nepotisme bisa diartikan sebagai praktik memberikan keuntungan atau preferensi kepada anggota keluarga sendiri, biasanya dalam konteks profesional atau bisnis. Biasanya tanpa memperhatikan kualifikasi dan kelayakan individu tersebut dalam menjalankan peran di posisi tertentu.Â
Terdapat sejumlah risiko negatif nepotisme seperti menyebabkan kecurangan, mengurangi keragaman ide dan cara pandang, mengurangi akuntabilitas (mengurangi kemampuan untuk menegur kesalahan atau keputusan yang tidak tepat), dan mengurangi kualitas pelayanan publik (apalagi jika sosok tersebut kurang tepat dalam menjalankan peran dan posisinya).
Sementara itu, filial piety, atau "xiao" dalam bahasa Mandarin, adalah nilai-nilai budaya Tionghoa yang menekankan pentingnya hormat dan kesetiaan kepada orang tua dan keluarga.Â
Dalam konteks budaya Tionghoa, filial piety dianggap sebagai nilai yang sangat penting dalam membangun hubungan keluarga yang harmonis dan menghormati.Â
Bentuk-bentuk filial piety misalnya menghormati orang tua, memelihara kesetiaan kepada keluarga, dan memelihara tradisi.
Di sini, dapat dikatakan bahwa nepotisme lebih negatif karena mengutamakan keuntungan pribadi dan keluarga saja. Sementara itu, filial piety adalah nilai budaya yang konstruktif, karena lebih menekankan pentingnya hormat dan kesetiaan kepada orang tua dan keluarga.
Nepotisme dapat berbahaya karena dapat mengganggu jalannya sebuah organisasi dan birokrasi serta kualitas pelayanannya untuk masyarakat umum. Dengan kata lain, dampak negatifnya lebih luas.
Sedangkan filial piety dapat membantu membangun hubungan keluarga yang harmonis dan menghormati. Dalam konteks kemasyarakatan, ia dapat mempertahankan kohesi sebuah masyarakat dan tatanannya agar tidak runtuh begitu saja. Bayangkan jika ada masyarakat yang semua anak-anak mudanya tidak menghormati orang tua mereka. Tentu bakal kacau balau.Â
Setelah mengetahui beda kedua konsep ini, seharusnya kita tidak menyamakan keduanya. (*/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H