TIKTOK dan dunia penulis bagi sebagian orang terasa sangat bertolak belakang.
Seolah-olah anak-anak muda yang menyukai TikTok pasti membenci atau tidak tahan berlama-lama baca buku.
Tapi tidak semua anak muda pengguna TikTok sekarang ini seperti itu.
Buktinya, di TikTok menjamur juga tren BookTok alias konten TikTok yang membahas soal dunia buku dan industri penerbitan (books and publishing industry).
Jadi sebelum Anda terjebak dalam dikotomi hitam putih seperti itu, lepaskan dulu pemikiran semacam itu dan berpikirlah lebih terbuka.
Karena ternyata kita yang suka baca buku bisa juga menikmati konten TikTok dan menggunakannya sebagai alat untuk menyuburkan industri penerbitan dan perbukuan yang konon digerogoti popularitas media sosial.Â
Padahal bisa juga keduanya berjalan selaras, asal kita mau berpikiran tidak ortodoks, tidak biasa agar tidak terkungkung batasan berpikir yang itu-itu melulu.
TikTok sendiri baru-baru ini berilis sebuah laporan mengenai tren terbaru yang mereka susun berdasarkan data pengguna aplikasi mereka. Laporan ini bisa dibaca dalam bahasa Inggris di sini (TikTok's What's Next 2024 Trend Report).Â
Bagi Anda yang ingin tahu garis besar laporan tersebut, sebetulnya TikTok ingin menegaskan bahwa platform tersebut di tahun 2024 akan mengutamakan konten yang menarik keingintahuan orang, merangsang imajinasi, membuat orang terbuka dan jujur mengenai apa yang mereka rasakan, dan membangun rasa percaya pada kreator.
Laporan tersebut juga menjelaskan adanya tiga tren utama dalam TikTok, yakni:
- Rasa keingintahuan orang makin naik: Para pengguna TikTok 1,8 kali lebih lama dalam menghabiskan waktu untuk menjelajahi topik-topik baru yang sama sekali belum pernah mereka ikuti sebelumnya. Jadi bisa dikatakan TikTok saat ini sudah menjadi pengganti Google. Saat orang ingin mengetahui lebih banyak soal sebuah topik baru, mereka mengandalkan TikTok sebagai alat untuk riset atau belajar.Â
- Bercerita secara blak-blakan/ apa adanya: Jika sebelumnya para kreator seolah diharuskan memakai hook atau kalimat pembuka yang menarik perhatian, sekarang mereka tak perlu demikian dan bisa langsung bercerita. Para kreator di TikTok sekarang ini makin banyak yang berkolaborasi untuk menciptakan narasi/ cerita yang lain daripada yang lain. Mereka menggabungkan storytelling dengan tren delulu (kata kerennya "delusional' alias bermimpi/ mengkhayal). Dengan kata lain, kreator-kreator ini menggabungkan fantasi/ khayalan dengan manifestasi dalam kehidupan nyata mereka. Terdengar tidak objektif tapi sekali lagi TikTok bukanlah platform jurnalistik jadi sah-sah saja.
- Membangun rasa percaya: Boleh setuju atau tidak tapi jenama-jenama (brands) yang sukses membangun rasa percaya dan nilai-nilai positif di dalam benak pengguna TikTok mengalami peningkatan angka penjualan sebanyak 41%. Apalagi jika jenama tersebut ditampilkan dalam konten TikTok yang dihasilkan oleh kreator lainnya dan tidak ditayangkan di akun resmi TikTok jenama tersebut. Namun, syaratnya konten TikTok tersebut tidak boleh bersifat hardselling alias menjual/ mempromosikan produk secara terang-terangan dan agresif layaknya tukang obat koar-koar di tengah pasar dengan janji-janji manis plus bombastis. Tidak demikian! Tapi para KOL (key opinion leaders)/ influencers yang membicarakan jenama-jenama ini dipersilakan untuk membahas atau menampilkan jenama dalam konten TikTok mereka secara apa adanya, alami, tidak mencekoki orang dengan pesan promosi yang memuakkan. Alih-alih demikian, konten tersebut mesti menghibur, tidak menggurui orang, sehingga pesan dari jenama itu bisa masuk secara mulus ke pikiran bawah sadar orang. Dan uniknya, jumlah pengikut bukanlah standar utama level seorang kreator TikTok karena sekarang yang jadi ukuran adalah level engagement dari konten yang dibuat kreator yang bersangkutan, tak peduli jumlah pengikutnya. Bisa jadi ia cuma punya pengikut 20 ribuan tapi jika level engagement atau views videonya mencapai jutaan maka ia lebih berharga daripada kreator yang jumlah pengikutnya 200 ribuan tapi level engagement dan view-nya jauh lebih rendah.