Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Begini Cara Berdayakan Keluarga sebagai Guru bagi Anak-anak Berkebutuhan Khusus

23 Juli 2022   06:59 Diperbarui: 30 Juli 2022   18:00 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DI KAMPUNG saya pernah ada seorang anak laki-laki yang terlahir dalam keadaan 'istimewa'. Ahmad, sebut saja begitu, adalah seorang tuna grahita dengan epilepsi.

Rumahnya yang di depan rumah saya membuat saya saat kecil bisa mengamati perilakunya.

Ahmad yang kebetulan jauh lebih tua dari saya ini terlahir di keluarga yang secara ekonomi berkekurangan sehingga tidak heran jika ia tidak bisa bersekolah di sekolah luar biasa.

Kesadaran akan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus juga masih rendah di daerah saya.

Kalau ada anak berkebutuhan khusus ya sudah, disuruh tinggal di rumah saja. Ahmad diasuh sendiri oleh orang tuanya dengan cara seadanya.

Padahal jika keluarga mau mendorongnya berinteraksi dengan orang lain dan masyarakat mau menerima dengan baik dan penuh kasih juga pasti potensi si anak berkebutuhan khusus ini bakal muncul.

Lain dengan kisah seorang anak berkebutuhan khusus lainnya, sebut saja Bima, yang terlahir di keluarga yang lebih teredukasi soal kondisi istimewa sang anak (ia autis). Plus keluarga ini tinggal di ibu kota dan memiliki jejaring lebih luas dan akses lebih mudah ke pakar dan dokter anak.

Bima tergolong beruntung sebab sang ibu dan ayah sangat suportif soal pendidikannya.

Bima dikirim ke sekolah khusus, bertemu dengan psikolog, terapis. Ia tidak dikurung di rumah. Kadang ia diajak ke luar bertemu teman-teman ayah ibunya jika suasana hati dan kondisinya memang memungkinkan.

Bahkan karena mood Bima bisa terpengaruh oleh makanan, orang tuanya juga belajar bagaimana membuat makanan organik dan mengolahnya sendiri agar lebih sehat bagi anaknya. 

Karena jika Bima diasup dengan makanan bergluten dan tinggi gula serta lemak, kecenderungan hiperaktifnya bakal makin menjadi-jadi.

Tak cuma kedua ortunya, Bima juga memiliki saudara kandung yang peduli dengan dirinya. Dan yang terpenting saudaranya ini memperlakukannya juga dengan baik dan penuh pengertian, memahami bahwa kakaknya memiliki kondisi 'khusus' yang perlu dihadapi secara lebih sabar.

Dari kedua kasus yang saya temui sendiri ini, saya mengamati adanya peran yang sangat penting dari keluarga yakni kedua orang tua dan saudara kandung si anak berkebutuhan khusus.

Dan kalau mau dirunut ke sains, memang ada penelitian yang menjelaskan bahwa sebenarnya keluarga bisa memainkan peran guru bagi si anak berkebutuhan khusus.

Anak-anak berkebutuhan khusus butuh keluarga suportif. (Foto: Wikimedia Commons)
Anak-anak berkebutuhan khusus butuh keluarga suportif. (Foto: Wikimedia Commons)

Dengan kata lain, keluarga bisa berperan aktif dan tidak cuma mengandalkan peran guru di luar lingkungan keluarga mereka yang mungkin cuma bisa bertemu si anak lebih jarang.

Dimuat dalam jurnal Communication Disorders Quarterly and Infants & Young Children, penelitian oleh tim riset Michigan State University menemukan bahwa pelatihan daring bisa meningkatkan komunikasi dalam keluarga dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang biasanya punya tantangan kompleks dalam keterampilan berkomunikasi.

Peneliti menyatakan bahwa pelatihan daring seperti itu bisa digunakan untuk semua orang yang tinggal dan hidup bersama anak-anak berkebutuhan khusus dengan kemampuan berkomunikasi terbatas.

Dengan mengikuti pelatihan daring, para orang tua dan saudara kandung anak-anak berkebutuhan khusus lebih diberdayakan karena bisa belajar untuk membimbing anggota keluarga mereka yang berkebutuhan khusus. 

Mereka tak perlu selalu menunggu seorang tenaga profesional atau pakar untuk datang dan mengajari si anak setiap hari.

Dalam penelitian ini, keluarga para anak-anak berkebutuhan khusus usia 2-6 tahun (dengan kondisi cerebral palsy dan Down syndrome) dilatih untuk membimbing dan melatih anak-anak tadi agar kemampuan komunikasi mereka lebih berkembang.

Anak-anak ini cuma bisa berkomunikasi dengan suara yang kurang jelas, isyarat, air muka, dan alat nonverbal lainnya.

Keluarga baik ortu dan saudara dilatih secara daring dalam 6 sesi (tiap sesi durasinya \2 jam) yang bisa diikuti secara maraton atau jika ada waktu luang.

Pelatihan ini bersifat interaktif dan memuat contoh video, latihan, pertanyaan dan kegiatan penerapan pengetahuan yang baru saja diajarkan.

Saudara kandung juga ikut serta dalam pelatihan secara tatap muka. Mereka ini berusia 7 hingga 15, sehingga mereka lebih matang dan siap memberikan bimbingan pada saudara mereka yang lebih muda dan berkebutuhan khusus.

Dengan pelatihan ini, diberikan pula strategi untuk mendorong terbukanya interaksi dan komunikasi yang lebih intens antara orang tua, saudara dan si anak berkebutuhan khusus.

Para anak berkebutuhan khusus didorong berkomentar soal banyak kegiatan dan keluarga diminta mendengarkan komentar mereka ini hingga selesai dengan sabar sebab biasanya mereka lebih lambat dalam merespon.

Pelatihan semacam ini terbukti bisa meningkatkan kemampuan ortu dan saudara kandung dalam berkomunikasi dengan anak berkebutuhan khusus dalam keluarga mereka. Dan tentu sangat membantu anak berkebutuhan khusus dalam berkomunikasi dengan keluarganya.

Dari penelitian ini, kita diajak untuk makin sadar dengan peran keluarga yang sangat besar terhadap kondisi dan kemajuan seorang anak berkebutuhan khusus.

Keluargalah yang berada di dekat anak-anak berkebutuhan khusus ini paling sering sepanjang hidup mereka. 

Karena itulah, peran keluarga sangat penting. Jangan berpikir bahwa peran guru cuma bisa dijalankan oleh tenaga profesional yang cuma datang dan bertemu dengan anak sesekali saja.

Di Indonesia sendiri setahu saya belum ada pelatihan daring maupun luring semacam ini bagi keluarga-keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

Pemerintah dan akademisi serta lembaga swasta sudah seharusnya mulai memikirkan bagaimana memfasilitasi keluarga-keluarga yang sedang berjuang mengasuh anak-anak berkebutuhan khusus.

Anak-anak ini membutuhkan perhatian yang lebih besar agar nantinya di masa depan mereka setidaknya tetap bisa menjadi anggota masyarakat yang berdaya dan mandiri dengan potensi yang ada. (*/ @akhliswrites)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun