PENULIS adalah salah satu profesi yang saya pikir tidak mungkin tergeser oleh kemajuan teknologi.
Kenapa saya seoptimis itu?
Karena saya pikir hanya manusia yang bisa membuat tulisan yang enak dinikmati oleh sesama manusia. Mana mungkin mesin atau komputer bisa menulis sebagus dan sepuitis para sastrawan?
Akan tetapi, argumen saya itu pelan-pelan berubah atau lebih tepatnya terpaksa berubah tatkala saya menemukan artikel "How to write with artificial intelligence" oleh Max Deutsch di Medium.com yang ia unggah tahun 2016.
Di situ, Deutsch menuliskan secara panjang lebar bagaimana seseorang yang bahkan tak punya keterampilan dan pengetahuan soal koding bisa menulis sebuah karya tulis tanpa mesti menggunakan otaknya sendiri. Ia cukup melatih sebuah Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) dengan menunjukkannya sebanyak mungkin sampel teks yang manusia bisa kurasi sesuai selera.Â
Misalnya saja saya ingin menulis novel sesuai dengan gaya saya sendiri. Saya cukup menunjukkan sampel teks saya sebanyak mungkin sehingga AI bisa mempelajari keunikan kalimat-kalimat saya sampai akhirnya ia bisa cukup cerdas untuk merangkai kalimat setelah dipancing dengan satu atau dua kata.
Saya tak ingin membahas panjang lebar cara Deutsch memberdayakan AI sebagai penulis di tulisan ini tetapi yang cukup mencengangkan ialah beberapa tahun terakhir ini tak cuma artikel berita, tetapi cerita, lagu, bahkan teks pidato sudah ada yang diproduksi oleh AI.
Dan bahkan ada lomba yang menerima karya-karya sastra yang diproduksi oleh AI dan karya tadi diakui sebagai karya manusia yang melatih AI tersebut. Terdengar aneh bukan?
Bagi Anda yang berpikiran konservatif mungkin bakal berontak, dengan geram menyanggah: "Mana bisa tulisan-tulisan karya AI bisa dimasukkan sebagai karya sastra?"
Faktanya AI Bisa Menulis Karya Sastra Sebaik ManusiaÂ
Saya ajak Anda untuk kembali ke tahun 2016 saat dunia sastra Jepang dikejutkan dengan sebuah novel yang lolos di penyaringan pertama lomba sastra Hoshi Shinichi.