Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Bagaimana Kepemimpinan yang Buruk Dorong Entrepreneurship?

14 Maret 2021   11:05 Diperbarui: 14 Maret 2021   11:10 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERBINCANGAN mengenai pengunduran diri dari posisi/ pekerjaan (resign) makin marak akhir-akhir ini. Sebabnya macam-macam. Salah satunya mungkin faktor kepemimpinan di sebuah instansi atau perusahaan yang kurang baik atau berjalan tidak semestinya. Maka ketidakpuasan dan frustrasi muncul dalam diri manusia yang berada di dalamnya.

Jika Anda termasuk mereka yang sedang berjuang dalam sebuah lingkungan dengan kualitas kepemimpinan yang buruk, jangan ciut hati dulu. Gunakan momen yang sekilas terlihat negatif ini sebagai kesempatan belajar entrepreneurship.

Hal ini saya ketahui setelah membaca sebuah artikel menarik di Harvard Business  Review (HBR). Sedikit orang yang pernah berpikir bahwa sebuah kepemimpinan yang disfungsional memiliki efek yang positif bagi entrepreneurship. Dalam sebuah paparannya di laman HBR, Tomas Chamorro-Premuzic menuliskan bagaimana hal itu bisa terjadi.

Kebanyakan entrepreneur sukses, menurut Chamorro-Premuzic, menumbuhkan ide bisnis mereka saat bekerja sebagai karyawan. Mereka memulai perusahaan atau menjadi pekerja lepas untuk bisa berhenti bekerja bagi orang lain. Itu semua karena mayoritas manajer tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, banyak pegawai tidak merasa bahagia dan tidak puas saat bekerja.

Di dalam krisis kepemimpinan di jajaran manajerial itulah, jiwa-jiwa entrepreneurship banyak orang mulai tumbuh secara organik. Bagi para karyawan yang entrepreneurial dan memiliki atasan yang entrepreneurial pula, mereka akan lebih beruntung bisa menyalurkan bakat dan semangat inovasi mereka di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, bagi mereka yang tidak seberuntung itu --- mereka yang memiliki atasan kurang entrepreneurial dan kurang kompeten --- berwirausaha menjadi jawaban atas kegundahan mereka.

Chamorro-Premuzic mengklaim bahwa Amerika Serikat yang digelari pusatnya entrepreneurship dunia berutang banyak pada para pemimpin dan manajer yang buruk ini. Pertumbuhan, inovasi teknologi, dan kemajuan sosial ekonomi yang terjadi sebagian besar terjadi berkat dorongan kepemimpinan yang buruk tersebut.

Lebih lanjut Chamorro-Premuzic mengemukakan sejumlah poin yang ia ambil dari pengamatannya di lapangan:
a. Startup-startup baru menciptakan lapangan pekerjaan. Dua pertiga pekerjaan baru di AS diciptakan oleh perusahaan-perusahaan baru yang usianya kurang dari 5 tahun.
b. Budaya entrepreneurship menarik orang-orang berbakat. Budaya AS yang lebih terbuka pada entrepreneurship membuatnya menjadi tujuan kaum imigran dalam berwirausaha.
c. Entrepreneurship membuka peluang bagi perempuan. Lain dari korporasi besar, startup-startup menawarkan lebih banyak kesetaraan bagi kaum perempuan. Chamorro-Premuzic mendukung pernyataannya dengan data: perusahaan-perusahaan baru yang didirikan wanita menyumbang lebih dari 3 triliun dollar pada GDP AS. Para entrepreneur perempuan ini menjadi pemimpin, sesuatu yang belum sepenuhnya lazim ditemui di perusahaan yang lebih besar dan mapan.

Namun demikian, bukan berarti kepemimpinan yang buruk mesti ditingkatkan jika entrepreneurship ingin digalakkan. Menurut catatan Scott Shane dalam bukunya, hanya 30% startup bertahan dalam 1 dekade terakhir ini, kurang dari 10% berkembang dan hanya 3% yang berkembang signifikan. Ini artinya, kata Chamorro-Premuzic, sebagian besar entrepreneur akan gagal sehingga ada biaya yang tinggi di balik sebuah perusahaan yang sukses. Dengan kata lain, kepemimpinan yang buruk memicu lebih banyak kegagalan entrepreneur dibandingkan kesuksesannya. 

Meski kondisi lansekap entrepreneurship di negara kita berbeda jauh dari AS yang sudah lebih dulu melesat, pelajaran ini patut dicamkan juga oleh para pekerja korporat yang kini sedang mengeluhkan soal kondisi di tempat kerja. 

Jika memang kondisi kantor/ tempat kerja sudah tak kondusif lagi (entah karena atmosfer kerja yang 'toxic', atau atasan yang sangat menekan, beban kerja yang tak sepadan dengan imbalan, dan sebagainya),  apa salahnya membuka diri kepada peluang untuk menjadi wirausaha dari sekarang? (*/ Ikuti saya di Twitter: @akhliswrites)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun