SELAMA masa awal pandemi, kita menyaksikan adanya perubahan pada kondisi udara. Dengan makin banyaknya kita berada di dalam rumah, mobilitas turun dan bahan bakar fosil yang dibakar juga anjlok.Â
Kita yang terbiasa dengan langit yang penuh smog (asap yang pekat sampai menyerupai kabut) di Jakarta dan kota metropolitan lain sempat merayakan birunya langit.
Hingga kemudian ketakutan mereda dan manusia mulai keluar lalu langit mulai tak sebiru dulu lagi. Sekarang kondisi itu tinggal impian karena makin banyak yang beraktivitas keluar rumah.
Saya juga salah satu orang yang sempat terpasung di dalam rumah tatkala masa awal pandemi berlangsung. Ketakutan begitu mencekam sampai keluar pintu saja rasanya segan. Lama-lama ketakutan tadi melumer juga dan saya juga tak betah berlama-lama tinggal di rumah.Â
Meski demikian, saya keluar rumah untuk menikmati udara segar dan berolahraga sendiri saja, bukan untuk bertemu dengan orang atau beraktivitas secara beramai-ramai.
Kini pencemaran lingkungan sedikit bergeser, dari pencemaran udara akibat transportasi pribadi ke pencemaran akibat bekerja secara virtual. Mungkin banyak yang bertanya: "Bagaimana bisa?" Kalau kita pakai Internet, apakah ada asap yang keluar? Apakah udara jadi kotor karena kita berinteraksi di media sosial atau menelusuri situs-situs web?
Sering kita lupa bahwa Internet bisa terwujud karena adanya banyak mesin komputer yang menyimpan informasi digital kita. Dan untuk menghidupkan dan menghubungkan semua komputer tadi, pastinya dibutuhkan listrik yang jumlahnya tidak sedikit.Â
Sayangnya di negara-negara berkembang, sumber daya energi masih sangat didominasi jenis tak terbaharui alias sumber energi fosil. Misalnya batubara, minyak dan gas bumi. Jadi, jangan salah sangka dulu: bekerja di rumah memang irit bensin dan tak mengotori udara di sekitar kita tapi tetap saja ada emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer dari pembangkit listrik.Â
Karenanya, tak heran tercatat terjadi penurunan emisi karbon dunia di tahun 2020. Namun, di sisi lain ada peningkatan dampak lingkungan akibat aktivitas dunia maya kita terkait dengan bagaimana data digital kita disimpan dan ditransfer di seluruh dunia.
Sebagai informasi tambahan, sejumlah negara sudah melaporkan kenaikan lalu lintas internet mereka sebanyak 20% sejak Maret 2020 lalu. Dan jika tren ini terus meningkat hingga akhir 2021, penggunaan internet saja bisa membutuhkan hutan sebanyak 71,6 mil persegi agar jejak karbonnya bisa ditekan untuk menekan laju perubahan iklim yang semakin mencemaskan (ditandai dengan berbagai fenomena cuaca ekstrim).Â