Para pelaku industri perfilman tanah air patut berbangga. Film produksi nasional "The Science of Fictions" (Hiruk Pikuk si al-Kisah) menjadi buah bibir di level dunia. Film ini menarik perhatian sineas dunia, yang dibuktikan dengan penyebutan istimewa (special mention) di ajang internasional the Swiss Locarno International Film Festival tahun 2019 yang lalu.
Film ini juga meraih prestasi di dalam negeri. Aktor Gunawan Maryanto dinobatkan sebagai aktor pemeran utama terbaik. Secara eksternal, mungkin ia tampak biasa saja. Tak seganteng dan sebelia aktor-aktor yang sebelumnya seperti Muhammad Khan, Gading Marten, Teuku Rifnu Wikana, atau Reza Rahadian tetapi ia memiliki kekuatan aktingnya tersendiri yang kali ini benar-benar teruji karena ia tak diizinkan bersuara sedikit pun di dalam film. Ia berakting bisu sebab karakter yang diperankannya dipotong lidahnya setelah tertangkap sebab mengintip suatu perekaman film pendaratan misi ruang angkasa di bulan yang konon diceritakan di sini terjadi di Yogyakarta.Â
Pada tanggal 29 Desember 2020 lalu, saya sempat menyaksikan pemutaran film secara gratis ini dalam program "Lombok Nonton Film" yang mengundang para pegiat perfilman dan penggemar film nasional di berbagai wilayah Lombok. Tujuan pemutaran film secara cuma-cuma ini tak lain untuk memperkenalkan film ini pada publik di Lombok karena kita harus akui film semacam ini berbeda segmen dengan film box office dari Hollywood yang upaya dan strategi pemasarannya masif dan gila-gilaan.
Meskipun film ini dikatakan berkualitas dan menuai apresiasi internasional, harus diakui untuk bisa menikmatinya mereka yang masih awam dengan dunia film dan sejarah serta isu-isu sosial mungkin akan cukup kesulitan mencerna isi kisahnya. Buktinya, setelah pemutaran film para penonton masih termangu di kursinya masing-masing, bahkan ada yang saya berani bertaruh malah mengantuk sesekali di tengah film yang berdurasi 1 jam 40-an menit ini.
Kenapa bisa demikian?
Sebab film ini sangat kaya dengan 'lapisan-lapisan' mirip bawang yang harus dikupas dengan pisau yang tajam dan mata intelektualitas yang tangguh. Banyak wacana yang berada di balik film ini, dari kritik terhadap sejarah pendaratan misi antariksa Apollo di bulan, kritik sejarah Gerakan 30 September, Â dan banyak lagi.Â
Kerumitan ini masih ditambah dengan latar waktu yang agak absurd pula. Jadi, penonton kebingungan saat dalam satu film ada penggambaran G30S/PKI dan telepon seluler. Loncatannya sungguh besar dan audiens tak diberi peringatan atau rambu-rambu soal itu oleh sang sutradara Yosep Anggi Noen.
Bagi kita yang kaum kebanyakan, karakter Siman ini juga mungkin bisa dianggap abnormal. Karena ia bisu dan tampak tak ingin berkomunikasi dengan orang lain. Dengan kata lain, ia sungguh-sungguh susah diajak berkomunikasi. Ia seolah memiliki dunianya sendiri. Ia terus terjebak dalam adegan pendaratan di bulan hingga mungkin sampai akhir hayatnya.
Kalau saya bisa bandingkan, film ini mirip dengan "Forgotten by God" (yang bisa disaksikan secara gratis dan legal di sini) tapi lebih susah dipahami lagi. Latar waktunya berpindah-pindah namun setidaknya di film FBG, sutradara masih memberikan petunjuk waktu itu. Batasnya jelas.
Pemutaran film ini patut diapresiasi. Karena dengan begini, masyarakat lebih banyak yang tahu mengenai perkembangan film kontemporer.Â
Hanya saja, memang haruslah ada pihak perwakilan dari pembuat film sehingga penonton bisa sedikit terbantu untuk bisa meraba-raba meski tak mungkin bisa menemukan jawaban mereka secara sempurna.
Jika cuma diputar tanpa ada dialog antara pembuat film dan penikmatnya, malah terkesan menjadi pameran intelektual para sineas elit Jakarta dan manca (karena film ini diproduksi dengan kerjasama bersama sineas Prancis dan Malaysia) yang makin membuat para sineas daerah makin kebingungan dan minder. (*/@akhliswrites)