Kita semua tahu betapa tidak populernya nama "Israel" di negeri ini. Dahulu mantan presiden Gus Dur pernah menggagas ide untuk membangun hubungan diplomatik dengan negeri Zionisme itu tetapi terlalu banyak antipati di dalam negeri sehingga ide itu urung terealisasi. Perkembangan terbaru, tahun 2016 Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, sebagaimana diberitakan BBC.com (29/03/2016), "menyerukan pembentukan hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia" dengan alasan "sudah saatnya mengubah hubungan kita (Indonesia-Israel) karena alasan yang menghalanginya tak lagi relevan".
Alasan lain ialah bahwa ada banyak peluang kerjasama yang bisa dirintis oleh kedua negara terlepas dari perdebatan apakah layak negara mayoritas muslim dan zionis berangkulan. Kepentingan lain di balik gagasan ini ialah tentu upaya peredaman terorisme yang meraja di sejumlah penjuru dunia serta kegiatan perdagangan. Hanya saja, pernyataan tersebut hanya digagas di depan para jurnalis Indonesia, bukan di hadapan para pejabat negara. Tidak heran tindak lanjutnya hingga sekarang belum ada. Kita bisa pahami karena pemerintah sekarang ini sudah cukup 'kelimpungan' mengurus berbagai tantangan di dalam negeri. Saat ini, bukanlah saat yang tepat untuk menyambut ajakan Netanyahu tersebut. Apalagi di tengah sentimen religi yang makin sengit saja.
Walaupun pemerintahan Joko Widodo tidak secara eksplisit menolak atau menerima, Maret lalu kita tahu bahwa wacana hubungan bilateral negeri kita dan Israel masih menjadi ilusi semata dengan kedatangan Raja Salman dan rombongannya di awal Maret 2017. Padahal jika Anda cermati, pesawat Netanyahu yang akan ke Australia di bulan Februari lalu terpaksa menghindari teritori Indonesia (sumber: BBC). Hal ini menandakan masih akan membekunya hubungan diplomatik Indonesia-Israel di masa datang.
Meskipun pada kenyataannya Israel memang masih dianggap sebagai musuh bebuyutan bagi negara-negara Islam, negeri itu tidak serta merta alergi dan menolak mentah-mentah nilai-nilai Islam terutama sistem keuangan dan perbankan syariah. Mulai tahun ini, layanan perbankan syariah telah dapat dinikmati oleh nasabah di wilayah Israel. Patut kita ketahui bahwa di wilayah Isreal, tidak cuma orang berdarah Yahudi yang tinggal. Sebagian muslim ini, menurut situs resmi Kemenlu Israel, kebanyakan ialah penganut Sunni. Persentasenya mencapai 16,9%, yang membuatnya menjadi kaum minoritas terbesar menyusul Kristen yang hanya 2,10% di sana.
Bukti tersebut saya temukan dalam sebuah berita di laman al-monitor.com. Diberitakan bahwa sejak awal 2017, Negara Israel meluncurkan program "Saving for Every Child" (Menabung untuk Setiap Anak") dengan mulai membuka rekening tabungan untuk setiap anak yang menerima uang saku. Uniknya, tabungan itu ditawarkan dalam dua pilihan sistem; yakni tabungan dengan sistem sesuai Halakhah (hukum Yahudi) dan Syariah (hukum Islam).
Mungkin kita tidak pernah tahu bahwa dalam beberapa aspek, Halakhah dan Syariah memiliki kesamaan terutama mengenai cara pandang terhadap peminjaman uang yang berbunga. Dalam kitab suci Taurat, dinyatakan bahwa meminjami uang dengan bunga ialah suatu pelanggaran agama yang paling serius. Dengan kata lain, salah satu perbuatan paling bajik (mitzvoh) ialah meminjami dana tanpa memungut bunga seperti lintah darat atau rentenir atau bank konvensional pada umumnya. Hal ini dikatakan oleh seorang rabbi atau pemuka agama Yahudi di Yerusalem melalui laman tersebut.
Dalam Syariah, sebagaimana kita ketahui, bunga adalah haram dan tentunya menjadi salah satu dosa yang tidak bisa disepelekan. Menerima atau membayar bunga wajib dihindari oleh seorang muslim/ muslimah.
Dalam skema tabungan tersebut, diklaim bahwa nasabah dijamin untuk terhindar dari praktik riba/ bunga. Dan untuk memastikannya, pengawasan ketat atas penggunaan dan manajemen dana nasabah dilakukan.
Solusi terhadap masalah riba ini dalam Halakhah ialah dengan mekanisme tertentu yang pada intinya menjadikan nasabah sebagai mitra setara dalam kontraknya dengan bank. Jadi, nasabah diperlakukan sebagai mitra dalam investasi bank yang bersangkutan. Kedua pihak ini kemudian menyepakati untuk berbagi keuntungan, bukan bunga.
Islam tidak disangka juga memiliki konsep yang mirip. Hanya saja terminologi yang dipakai berbeda, yakni “musharka”. Di dalamnya, kedua pihak berhadapan sebagai mitra yang berkedudukan sama.
Diterimanya ide penerapan layanan perbankan syariah di bank-bank di Israel ini menjadi sebuah bukti bagi kita bahwa (*)