Seorang rabbi (pemuka agama Yahudi) memiliki seorang anak laki-laki yang suka menjelajah di hutan. Awalnya, sang ayah membiarkannya begitu saja masuk hutan dan berlama-lama di dalamnya. Namun, makin lama ia makin cemas. Pikirnya, hutan menyimpan banyak bahaya. Bisa saja ular berbisa memagut anaknya; seekor serigala lapar kapan saja bisa menerkamnya; bakteri pemakan daging menginfeksi tubuhnya. Semua ancaman itu terngiang dalam benak sang rabbi. Lagipula, ia tak tahu apa yang diperbuat si anak di dalam rimba itu.
Suatu hari, rabbi itu menghadang anaknya sebelum ia masuk ke hutan lagi dan bertanya,”Kau tahu, ayah melihat tiap hari kau masuk ke hutan. Kenapa kau suka sekali ke sana?”
Si anak laki-laki yang masih polos itu menjawab lugu,”Ayah, aku menjelajah hutan karena ingin menemukan Tuhan.”
“Hmm, suatu penjelajahan dengan tujuan yang sungguh bajik, nak,” tukas rabbi itu dengan lembut. “Ayah gembira kau sudah memiliki keingintahuan terhadap Tuhan di usiamu yang masih muda. Tapi anakku, bukankah Tuhan itu sama tak peduli tempat kau berada? Kau tak perlu masuk ke hutan untuk menemukan-Nya.”
“Iya, ayah,” jawab anak itu pelan,”Tuhan memang sama di mana saja. Tapi aku berbeda di tempat yang berbeda."
Kisah indah rabbi dan anaknya dari David J. Wolpeitu mengingatkan saya pada seorang teman saya yang pergi ke mana-mana hanya berbekal GPS dan sering kelabakan tatkala sinyal operator timbul tenggelam sehingga GPS berhenti bekerja dan membuatnya mengumpat-umpat kesal di mobil. GPS adalah tuhannya selama berkelana di jalan-jalan ibukota yang mirip labirin tak berujung baginya. Namun, meskipun tuhan itu sudah memberinya informasi, teman saya tak percaya sepenuhnya. Ia masih meragukan arahan-arahan produk teknologi yang bersuara perempuan itu. Alasannya kadang peringatan yang diberikan GPS untuk menempuh jalur alternatif supaya bisa menghindari titik kemacetan atau kecelakaan tak selalu 'real time'. "Sudah jauh-jauh ambil jalur lain, ternyata jalur semula sudah lancar," keluhnya.
Seperti anak rabbi tadi, teman saya ini juga ingin merasakan keberadaan Tuhan. Ia ragu apakah harus begitu saja mempercayai dogma agamanya bahwa Tuhan itu ada atau harus mengalaminya sendiri dulu baru bisa mengakui keberadaan-Nya.
Belum selesai masalah internalnya, ia malah balik bertanya pada kami semua di sebuah auditorium lapang malam itu,"Dengan prinsip Anda, bagaimana saya bisa membantu orang lain yang sama agnostiknya seperti saya supaya bisa mengenal dan mencintai Tuhan? Bagaimana saya sendiri mampu meyakinkan orang lain bahwa Tuhan itu ada kalau saya sendiri belum percaya?"
Betapa pelik pertanyaannya itu sampai para hadirin tercekat. Pembicara menghela napas hingga akhirnya harus menjawab semampu yang ia bisa. Dan seperti bisa diduga, jawaban itu tak memuaskannya. Terlalu singkat dan tak mengena. Tapi si pembicara juga tak salah. Pertanyaannya itu butuh penjelasan yang setebal ensiklopedia dengan ketebalan ribuan lembar kertas penuh teks dan tanpa ilustrasi. Saya malah kasihan dengan wajah penjawabnya yang frustrasi, takut teman saya terus memburu penjelasan lebih lanjut karena jawaban yang mengawang-awang. Tapi jika berbicara sesuatu seagung Tuhan, bagaimana bisa tidak mengawang-awang?
Terlepas dari terjawab tidaknya pertanyaan filosofis yang menghantui teman saya itu, saya pikir ia tidak membutuhkan jawaban dari orang lain. Jawaban itu hanya bisa ia temukan sendiri, dengan caranya sendiri. Sementara orang lain hanya bisa menemaninya, sebagaimana saya yang kebetulan menemaninya di sebuah malam sembari membelah keruwetan lalu lintas sebuah gang sempit di Jakarta sehabis hujan lebat yang membuat kesabaran hampir tandas dan akal sehat terkuras.
Karena saya juga hampir buta jalan, kami bisa dikatakan dua orang buta yang saling mengandalkan. Saya terus menemaninya dengan pembicaraan yang menghibur, demi mengalihkannya dari kemasygulan akibat kemacetan.