Februari 2010 yang tidak akan terlupa. Sudah berbulan-bulan mencari pekerjaan dan mendapat tawaran di ibukota setelah beberapa bulan juga pernah mengadu untung melamar kerja di sana.
Orang bilang bersabar saja karena kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Ah, tidak juga. Itu namanya menyepelekan kegagalan. Kegagalan harus dihindari sebisa mungkin dan jikalau tak bisa terhindarkan pun, gunakan kegagalan itu untuk menghindari yang serupa di masa datang.
Kemiskinan finansial sering dianggap sebagai objek permakluman. Tak mengapa miskin harta, asalkan kaya hati. Itu lebih terdengar sebagai suatu apologi seorang pecundang. Mentalitas yang menjauhkan diri seseorang dari kepantasan mendapatkan rejeki yang sejati.
Saya pernah mendengar bagaimana seseorang berpendapat tentang ini. Katanya,”Uang memang bukan segalanya. Uang tak bisa menjamin kebahagiaan. Itu betul. Tetapi dengan tidak memiliki uang, niscaya ketidakbahagiaan juga sebuah takdir yang pasti dijelang. Uang bisa digunakan untuk melakukan banyak hal, termasuk menolong orang di sekitar kita.” Ada benarnya.
Kemiskinan dan ketiadaan pekerjaan juga membuat manusia lebih rawan dengan berbagai eksploitasi. Mereka yang miskin dan menganggur cenderung rela melakukan apa saja untuk mendaki tangga menuju sukses. Jangankan yang tidak terdidik, yang terdidik saja jika menganggur bisa putus asa dan melakukan kenekatan yang sama sekali tidak masuk akal karena tidak mencerminkan kematangan intelejensianya. Saya masih ingat dengan berita seorang lulusan universitas luar negeri di surat kabar tetapi tanpa pikir panjang ia melakukan tindak kriminal yang mencoreng muka sendiri.
Saya pernah merasakan sendiri bagaimana rapuhnya menjadi seseorang yang tidak memiliki pekerjaan. Tidak banyak yang tahu, saya pernah hampir menjadi sasaran agen perekrutan anggota baru Negara Islam Indonesia, atau “Negara Islam Kurnia” (demikian si agen rahasia menyebutnya).
Sebenarnya ini sudah berlangsung Februari 2010 lalu. Sudah lumayan lama. Saya hampir lupa detilnya tetapi tidak akan pernah lupa bagaimana sulitnya melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Betul, seolah-olah saya tergiring selama beberapa jam dalam diskusi yang mereka rekayasa.
Saya kembali teringat pengalaman tersebut tatkala berkunjung ke kampus Universitas Indonesia di Depok Selasa kemarin saat meliput seminar di sana. Di sinilah peristiwa itu menimpa saya 2,5 tahun lalu.
Begini ceritanya…
Karena panggilan sebuah wawancara dan tes pekerjaan di sebuah perusahaan teknologi dari negeri tirai bambu, saya pun ke kampus UI. Jika tak salah ingat itu di sekitar danau buatan dan jembatan merah. Mungkin itu fakultas Ilmu Budaya atau Teknik. Hmm, mungkin Teknik. Ya betul…Teknik.
Posisi yang saya lamar, saya masih ingat, ialah editor bahasa Inggris. Tes pertama yang berupa tes tertulis berhasil dilalui dengan relatif mudah. Cuma menulis. Sayangnya, saya hanya memiliki pengalaman menulis blog dalam bahasa Inggris, yang menurut si pewawancara belum memadai untuk kualifikasi editor yang mereka inginkan. Saya bisa baca pikiran 2 wanita muda Cina yang berada di hadapan saya setelah mereka menanyakan apakah saya sudah pernah menerbitkan sebuah buku. Saya langsung berpikir, “That’s obviously the end of me here.”
Cerita bergulir saat saya menemukan sebuah pohon rindang dengan bangku nyaman di bawahnya. Pohon itu berada di dekat sebuah ruangan yang tampaknya sebuah gym center. Aneh sekali ada kampus punya pusat kebugaran, pikir saya.
Siang itu terik. Tubuh capek setelah semalaman berada di gerbong kereta yang sama sekali tidak nyaman untuk tertidur. Perut lapar pula. Pukul 11 siang saat itu mungkin, belum waktunya makan siang. Akhirnya saya memutuskan duduk di sana sambil menenggak air mineral. Mungkin saya akan salat lalu temukan warung makan di sekitar sini dan mencari kos yang murah untuk tinggal barang semalam karena kemungkinan saya akan dipanggil lagi di hari berikutnya (yang ternyata salah besar).
Tiba-tiba ada dua orang pemuda turut duduk bersama saya di bawah pohon besar dekat danau buatan dan jembatan bercat merah itu. Yang satu lebih tinggi dari saya, kulitnya kuning. Ia lebih hening dibandingkan rekannya yang lebih pendek dan berkulit lebih gelap. Yang kedua ini rupa dan perawakannya mirip seorang mantan mahasiswa saya di kota asal.
To be continued…
(Juga dimuat di akhlisblog.wordpress.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H