Kecintaan saya terhadap dunia membaca bermula ketika saat saya duduk di bangku sekolah pertama, saat itu saya membuka kios media cetak di depan rumah. Saya menjaganya secara bergantian. Setiap pulang sekolah giliran saya yang menjaganya, sambil menunggu saya pun membaca dengan lahap baik koran harian, tabloid mingguan hingga majalah bulanan yang membahas banyak hal baik yang mencakup berita dalam negeri maupun berita seantero dunia. Hal itu berlangsung selama hampir 5 tahun, namun sayang perkembangan arus teknologi internet yang begitu dahsyat, pesat dan cepat membuat banyak orang beralih ke media online ketimbang media cetak. Selain mudah, murah beragam berita pun tersaji dengan lebih cepat. Singkat cerita akhirnya saya pun terpaksa menutup kios saya.
Namun hal tersebut tidak serta merta menghentikan kegemaran saya membaca. Justru malah menghantarkan saya pada satu kegemaran baru, yakni menulis. Semakin banyak saya membaca buku, semakin banyak saya mendapat kosakata baru yang sangat membantu saya dalam proses menulis. Bahkan tidak pernah terlintas dalam benak saya, saya yang mulanya hanya seorang pembaca karya-karya orang lain justru kini hati saya seolah tergerak untuk menginspirasi orang lain. Meskipun belum banyak hal yang saya tulis karena saya pun masih dalam tahap proses belajar.
Ketika banyak orang berpendapat buku sebagai sumber ilmu maka saya jadi mendapat satu pemahaman baru, bahwa sejatinya ilmu itu bukan untuk disimpan, melainkan untuk dibagikan. Dan bagi seorang penulis kegiatan membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang tidak dapat terpisahkan. Sebab, orang tidak bisa memberi kalau ia tak punya apa-apa untuk diberikan Maka, ia harus memiliki sesuatu untuk dibagikan. Nah, melalui proses membaca itulah seorang penulis memiliki banyak pengetahuan untuk dibagikan. Bahkan ujar Bunda Asma Nadia, “Kuliahnya seorang penulis adalah membaca dan menulis adalah cara lain untuk membuka rekening tabungan amal hingga tetap mengalir walaupun usia sudah terhenti.”
Buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal dengan penerjemah Ali Audah, bahkan berusia lebih tua dari usia saya, buku ini pertama kali terbit pada tahun 1972, cetakan kedua tahun 1974, dan ini merupakan buku cetakan ketigayang terbit tahun1979. Betapa sebuah buku itu akan selalu bisa bermanfaat tanpa henti, sekalipun usia penulisnya sudah terhenti. lintas zaman, lintas generasi.
Membaca buku tidak hanya membuat saya mempunyai kegemaran baru, bahkan lebih dari itu. Buku memberikan saya begitu banyak pelajaran-pelajaran berharga. Pengetahuan lintas zaman, lintas negara maka tak perlu asing mendengar istilah “Buku adalah jendela dunia” dan membaca adalah kuncinya. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saja, ”Iqra’, bacalah”. Mungkin jika kita telaah secara mendalam hal itu merupakan satu perintah menuntut ilmu yang sering kita sebut sumbernya adalah buku. Selain wawasan kian bertambah, buku selalu menjadi teman terbaik kemanapun saya pergi serta menjadi obat galau yang paling efektif. Bahkan saya selalu kalap apabila pergi ke toko buku, rasanya ingin memboyong semua buku ke rumah. Ibnu Aljauzy seorang sahabat nabi, begitu hausnya ia menelaah buku, beliau berkata, “Jika saya katakan saya telah membaca 20.000 jilid buku, maka sebenarnya jumlahnya lebih banyak dari itu, pun demikian aku tetap mencari. Dan jika aku mendapatkan buku yang belum pernah kubaca, seakan-akan aku menemukan harta karun yang melimpah.” Sungguh luar biasa kecintaanya terhadap buku bagi seorang pencari ilmu.
“Beli buku lagi, beli buku lagi. Sekali baca udah kan di simpan lagi? Mendingan juga beli baju, tas, sepatu yang kemanfaatannya jauh lebih banyak,”ujar seorang teman. Akan tetapi, prinsip saya tidak demikian. Apabila saya membeli buku, saya tidak hanya membacanya sekali, dua kali bahkan bisa berulang kali, sewaktu-waktu bisa saya baca lagi. Apabila ada masalah hidup yang mendera sejenak saya luangkan waktu saya untuk membaca. Saya ambil beberapa buku yang sesuai kondisi hati, terbukti saya menjadi jauh lebih tenang dan lebih rileks.
Mungkin jika kebanyakan teman seusia saya pada saat itu lebih memilih berkumpul dengan teman nongkrong di mall, belanja, justeru saya begitu asyik tenggelam dalam tumpukan buku sehingga membaca bukan lagi beban yang dipaksakan bahkan menjadi hiburan yang penuh kenikmatan dengan selaksa faedah yang bisa dirasakan. Membaca menjadi hal yang sangat-sangat mnyenangkan bahkan hal itu saya rasakan hingga sekarang.
Memang sudah selazimnya sebuah buku memberikan manfaat untuk setiap insan yang membacanya. Misalnya saja, saya begitu termotivasi ketika membaca buku ON karya Bapak Jamil Azzaini, banyak sekali hal yang dapat saya petik dari buku ini untuk ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga begitu terenyuh ketika membaca buku Ayah karya Bapak Irfan Hamka, tentang kisah hidup seorang Buya Hamka dari mulai masa muda, dewasa, menjadi ulama, sastrawan, politisi, kepala rumah tangga sampai ajal menjemputnya yang membuat saya begitu berbangga akan sosoknya. Serta begitu banyak buku-buku yang mencerahkan pola pikir saya.
Sayangnya seiring perkembangan zaman, kebiasaan membaca buku ini semakin langka kita dapatkan. Selain dunia hari ini dimanjakan oleh kemahiran tekhnologi, suguhan sosial media dengan berbagai apikasi pun membuat budaya membaca kian terkikis. Sehingga saya ingin sekali mempunyai rumah baca yang terbuka bagi siapa saja sehingga tak ada kendala bagi anak-anak bangsa membuka jendela, menatap indahnya dunia dengan membaca.
Buku selalu membuat saya menemukan pemahaman-pemahaman baru yang selama ini tidak saya tahu.Jika para pecinta rokok selalu mengisi sakunya dengan rokok, maka kita akan mendapatkan seorang pecinta ilmu dengan buku yang menyertainya kemanapun ia pergi karena baginya sebaik baik teman adalah buku, sehingga selagi masih bisa bersanding dengan buku maka tak ada istilah kesepian untuk para pencari ilmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H