Belasan tahun, tulisan saya hanya menjadi komoditas para pembaca media cetak. Menulis sudah menjadi pekerjaan sehari-hari yang wajib dilakukan. Ibaratnya, kalau tidak menulis, berarti tidak bekerja. Juga menjadi sebuah rutinitas dan berpengaruh pada  semangat kerja yang pasang surut. Mood menjadi penting, karena kalau saya tidak bisa menjaga mood alias bad mood, tulisan tidak akan berbobot (baca: tidak layak baca) dan berujung pada tidak akan dimuatnya tulisan saya.
Menulis adalah pekerjaan. Begitu istilah saya. –Padahal, dulu saya pernah berharap bahwa menulis yang saya lakukan bisa menjadi karya sastra-
Jenuh menulis untuk pekerjaan, saya mulai berkenalan dengan blog. Media di dunia maya, yang kala itu sangat digandrungi dan sedang naik daun. Hal ini membuat semangat menulis saya bangkit lagi. Saya bisa menulis apa saja yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Blog-blog tertentu bahkan bisa menjadi ajang komunikasi antara sesama ‘penggemar’ blog, disebut blogger.
Beberapa blog saya buat. Saya membagi-baginya sesuai dengan isi yang akan saya tuangkan didalamnya. Ada blog yang sekedar untuk ngelaba, blog untuk curhat, blog untuk menulis tulisan-tulisan saya yang bersifat idealis, hingga blog-blog untuk anak-anak saya.
Komunitas blog pun tercipta. Saya akhirnya bergabung dibeberapa komunitas yang anggotanya sesama penulis, mulai dari penulis senior atau profesional, hingga penulis ala kadarnya yang penting eksis.
Tulisan-tulisan di blog-blog pribadi bahkan menjadi kumpulan ‘cerpen’ di sejumlah buku. Saya pun tak melewatkan kesempatan itu. Tentu saja, kondisi ini membuat saya begitu bergairah dan antusias untuk terus menulis. Menulis bukan lagi menjadi satu pekerjaan yang jadi rutinitas dan membuat jenuh.
Hingga akhirnya muncul situs-situs jejaring sosial, yang menjadi tren baru di kalangan kami.–saya menyebutnya wabah-. Orang mulaitertarik dengan ‘mainan’ baru yang lebih fresh dan kekinian. Tak dapat dipungkiri, saya pun juga terjangkit wabah tersebut, membuat kami akhirnya ‘meninggalkan’ keasikkan kami bermain kata-kata di blog-blog kami.
Aksi ‘pindah rumah’ ini tentu saja mempunyai dampak positif dan negatif. Satu hal yang sangat saya rasakan, saya sudah mulai jarang menulis lagi. Begitupun sebagian besar teman-teman saya. Ironis memang.
Tiba-tiba, satu tahun silam, teman berseloroh. ‘In, coba deh gabung di Kompasiana. Kamu akan menemukan sesuatu yang berbeda.'
Tawaran yang menurut saya tidak ada salahnya untuk dicoba. Tahun silam, saya mendaftarkan menjadi anggota Kompasiana. Walaupun saya member baru, dan hanya beberapa orang yang saya kenal di dalamnya, saya merasa yakin, bahwa di rumah baru ini, saya bisa menulis dan bermain kata-kata seperti waktu dulu. Bagi saya, blog, website pribadi, situs jejaring sosial, dan Kompasiana, membuat dunia saya menjadi tak terbatas.
Salam hangat selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H