Beberapa waktu yang lalu Presiden SBY menghimbau rakyat Indonesia khususnya insan pers untuk memelihara kebebasan berekspresi dengan tetap melaksanakannya secara bertanggung jawab , jangan sampai Indonesia menjadi “lautan fitnah”. Menurut SBY, akhir-akhir ini ada peningkatan frekuensi pemberitaan yang tidak benar. Ucapan SBY ini, seperti biasa, lebih banyak direspon secara negatif, dianggap semata sebagai pembelaan diri SBY, ketimbang disikapi dengan mencoba menelaah secara jernih kenapa seorang kepala negara menyampaikan himbauan seperti itu.
Kalau mau jujur, ucapan SBY ada benarnya (saya bukan pendukung SBY, dua kali Pilpres tidak pernah memilih SBY lho..). Lihatlah begitu mudahnya orang memposting tulisan di internet, dari yang positif, sampai yang negatif dan provokatif. Seharusnya, dengan demikian mudahnya memperoleh informasi, para konsumen berita, khususnya para netizens yang (mestinya) berpendidikan cukup tinggi, punya banyak kesempatan untuk mencari berita secara berimbang, dan tidak mudah terperangkap dalam berita yang timpang. Tetapi, tidak banyak yang mau mencari perimbangan berita. Gejala ketimpangan berita dan ketergesa-gesaan dalam menyikapi berita tanpa mencoba mencari informasi pembanding ini sungguh sangat disayangkan, karena kalau tidak diwaspadai dan diantisipasi, bisa-bisa negeri Indonesia tercinta yang begitu luas wilayahnya dan heterogen penduduknya menjadi lautan fitnah, percekcokan, pertikaian, dan perpecahan.
Saya ingin memberi ilustrasi melalui berita mengenai Dahlan Iskan. Sengaja saya pilih Dahlan karena sejauh pengamatan pribadi, Dahlan termasuk yang paling sering mendapat pemberitaan timpang. Tetapi saya bukan seorang Dahlanis, melainkan hanya pengamat yang (mencoba) kritis dan fair. Saya hanya akan menyinggung satu contoh berita/ peristiwa saja, untuk mengingatkan kita semua betapa kita membutuhkan kearifan dan kehati-hatian di era informasi ini agar negeri tercinta ini tidak menjadi lautan fitnah. Sekali lagi, ini hanya contoh.
Beberapa hari ini media ramai membicarakan tentang aksi bupati Ngada yang memblokir bandara karena tidak kebagian tiket Merpati . Berbagai tokoh pun memberikan komentar dan dikutip di berbagai media melalui tulisan yang diposting oleh reporternya. Salah satunya adalah berita tentang komentar Dahlan Iskan, yang dalam posting di Detiknews yang ditullis oleh Rivki, menyatakan bahwa Dahlan tidak mempermasalahkan sikap bupati Ngada. "...Ya kan cuma 2 jam aja ditutup. Ruginya di mana yah?" kata Dahlan di sela-sela peresmian pabrik baja di Banten, Senin (23/12/2013). (http://news.detik.com/read/2013/12/23/112911/2449280/10/kata-dahlan-iskan-soal-aksi-bupati-ngada-tutup-bandara ). Postingan ini pun langsung disambut dengan puluhan komentar bernada menghujat dan mencemooh Dahlan. Padahal, di hari yang sama, terdapat beberapa posting oleh reporter lain di media lain bahkan juga di Detik.com yang isinya sama sekali berbeda. Justru dilaporkan bahwa Dahlan sangat menyayangkan sikap bupati Ngada. Liputan6 justru menyebut Dahlan sebagai 1 dari 8 tokoh yang mengecam bupati Ngada. Walaupun Dahlan mengaku kenal dekat dengan bupati Ngada, Dahlan sampai menyebutnya “Arogan luar biasa”,. http://bisnis.liputan6.com/read/782981/bupati-tutup-bandara-dahlan-kenapa-arogannya-luar-biasa . Dahlan juga menyayangkan sikap bupati Ngada karena telah merugikan bukan hanya Merpati, tetapi juga rakyat banyak. http://news.detik.com/read/2013/12/23/150929/2449637/10/dahlan-iskan-bupati-ngada-sudah-diberi-1-seat-oleh-merpati-tapi-tak-datang . Sayangnya, tulisan Rivki lebih mengundang banyak komentar karena ditulis dengan bahasa provokatif. Banyak komentar uang "parah" yang pantas membuat kita mengelus dada karena miris dengan ketimpangan berita, kekasaran budi bahasa, keterjebakan pada kaca mata kuda, padahal imbangan berita itu hanya berjarak sekian detik dari pencetan jemari mereka di atas key pad android atau laptop.. Sungguh menggiriskan bila kita tidak bijaksana mengelola berita yang dipaparkan kepada kita.. bukan tidak mungkin negeri ini akan menjadi lautan fitnah. Lebih menggiriskan lagi, ternyata tulisan Rivki ini direpost di banyak tempat, sehingga berita yang menyatakan bahwa Dahlan menganggap sikap bupati Ngada itu bukan masalah menjadi lebih dominan, menutupi berita yang menyatakan kecaman Dahlan terhadap sang Bupati.
Contoh berita lain adalah ketika Biro Hukum BUMN mengajukan judicial review, meminta MK agar BUMN dipisahkan dari kekayaan negara. Berita ini ditulis besar-besaran oleh banyak media, sehingga lagi-lagi Dahlan dihujat habis-habisan sebagai pihak yang menginginkan BUMN lepas dari negara sehingga tidak bisa diawasi BPK dan penyalahgunaan wewenang di dalamnya tidak bisa ditindak sebagai korupsi. Padahal ternyata Dahlan telah memberikan klarifikasi bahwa Biro Hukum BUMN itu bukan dari BUMN. Dahlan bahkan mengaku tidak mengenal mereka dan baru tahu tentang aktivitas organisasi yang mengaku Biro Hukum BUMN itu dari koran (Link http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=204846 ). Sayangnya, klarifikasi Dahlan hanya dimuat terbatas oleh JPNN, tidak mendapat porsi yang semestinya oleh media lain, termasuk oleh media yang telah memberitakan upaya judicial review oleh Biro Hukum BUMN, sehingga orang lebih banyak menganggap bahwa Dahlan ada di belakang judicial review tersebut. Takpelak, berbagai tuduhan dan hujatan pun dialamatkan kepada menteri yang sekaligus (mantan) raja media.
Kualitas komentar-komentar yang muncul sering kali asal bunyi, kasar/ sarkastik, dan tidak didukung data, yang bisa leluasa diposting oleh siapa pun, juga perlu dicermati. Sungguh mengerikan bila kaum muda Indonesia tumbuh dengan membaca kalimat seperti itu hampir setiap hari.
Apa yang saya sampaikan di atas hanya satu contoh nyata tentang ketimpangan berita dan "parahnya" (sebagian) media di negeri kita . Sebenarnya ini hanya puncak puncak cari sebuah gunung es kegagapan masyarakat Indonesia menyikapi perubahan dalam teknologi informasi yang begitu deras. Beberapa tokoh nasional lainnya, termasuk Presiden SBY, Jokowi , Ahok, dan lainnya juga sering mengalami pemberitaan yang tidak berimbang dan mendapat komentar-komentar yang tidak sepantasnya.
Internet memang telah memberikan banyak manfaat melalui kemudahan penyebaran informasi, tetapi internet juga potensial membawa masalah seperti pornografi, dan penyesatan informasim bahkan fitnah. Tampaknya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI perlu segera membuat kurikulum di sekolah-sekolah tentang bagaimana memanfaatkan informasi dari internet, bagaimana bersikap bijak, berimbang, dan kritis dalam menyikapi berita yang berseliweran, termasuk kesantunan dan kearifan dalam memberikan komentar... Tidak hanya pemerintah, orang tua, lembaga pendidikan non sekolah juga perlu mengajarkan untuk bijak dalam mengelola informasi, supaya negeri ini tidak menjadi lautan fitnah dan sumpah serapah. Naudzu billah..