Mohon tunggu...
Ahmad Fiqhi Fadli
Ahmad Fiqhi Fadli Mohon Tunggu... -

An effort to study

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Beginikah Kepribadian Bangsa Kita?

2 Desember 2014   03:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:17 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya akan bercerita tentang angkutan kota yang saya gunakan tadi pagi ketika kembali untuk menimba ilmu. Karena berbagai faktor dengan terpaksa pagi tadi ketika kembali ke malang saya diharuskan untuk kembali ke malang untuk beraktivitas kembali. Rute untuk kembali ke Malang adalah dengan menaiki bis kuning kemudian dilanjutkan dengan menaiki bis dari arah Surabaya ke Malang.

Saya mahasiswa yang sok sibuk hanya dapat meluangkan waktu saya satu bulan sekali untuk dapat mengunjungi kampung halaman dan itupun dari Jum’at malam sampai Ahad pagi. Padahal jarak Mojokerto dan Malang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja ada kebosanan terselubung ketika harus menaiki operan bis. Kadang jika sampai terminal kota Mojokerto tidak ada  yang menjemput, saya akan menaiki bis hijau untuk turun sampai gang depan rumah saya. Untung rumah saya lumayan dekat dengan By Pass jadi bis hijau arah Surabaya dapat ditumpangi untuk menuju gang rumah saya.

Ceritanya bermula dari pagi tadi. Masih sangat tergambar dengan jelas bagaimana mama melepas pelukannya agar aku segera kembali ke Malang, sebelum beliau meneteskan air mata di depanku. Mama adalah ibu rumah tangga yang memang menghabiskan kesendiriannya dengan buku pinjaman dari perpustakaan kota. Dan Ayah adalah seorang karyawan pabrik. Dan adik masih duduk di kelas 3 SMP di Jombang, dan adek mondok. Sesederhana itulah keluarga saya, kebersamaanlah yang selama ini membahagiakan kita.

Setelah melepaskan pelukan Mama saya langsung duduk di tempat penumpang di motor Ayah karena saat itu saya diantarkan Ayah ke terminal sebelum ayah pergi bekerja. tapi ayah tidak kunjung berangkat, karena beliau merasa masih ada sesuatu yang tertinggal. Setelah merenung Ayah berkata pada Mama,’ Mi’ rokokku ketiggalan di atas meja ruang tamu, sama koreknya ya.’, kemudian mama menjawab ‘enggeh yah, sebentar tak ambilkan.’ Kemudian ayah merogoh-rogoh sakunya lagi dan teringat, kali ini Ayah dan mama menjawabya bersamaan ‘hapenya ketinggalan’, kompak sekali mereka. Kemudian Mama bertanya ‘dimana yah?’, ayah menjawab ‘di atas  meja di depan teve di kamar’. Setelah semuanya lengkap barulah ayah berkata pada saya ‘ngene iki kak, ayah wes tuwek sembarang e sering lali’. Dalam hati aku menangis, ayahku sudah tua dan apa yang aku bisa berikan selama ini? Bekerja? ya ! Bekerja menghabiskan uangnya saja.

Kemudian kami beragkat ke terminal, sesampainya di sana seperti mahasiswa normal lainnya saya meminta uang saku. ‘yah, sangune dereng, hehehehe’ tidak enak juga sebenarnya mengatakannya tapi ya sudahlah kan kebutuhan. ‘ya Allah kak, ayah lali gak bawa uang banyak. Lagian kan sekarang masih tanggal 30, kan sangunya mulai tanggal 1’. Setelah salim saya bergegas memasuki bis kuning yang sudah siap akan berangkat. Saya tidak menyangka jika kejadiannya akan semengerikan itu. Pertama saya masuk saya duduk di kursi samping pintu depan pas. Sebelah saya adalah ibu-ibu yang umurnya berkisar antara 35 tahun. Ibu-ibu itu kemudian keluar karena sudah sampai pada tujuannya. Kedua, yang duduk di sebelah saya adalah seorang wanita paruh baya. Supir mulai ugal-ugalan tapi ya masih dalam batas normal seperti yang lainnya. Tapi nenek itu sedikit berbisik ‘nak, saya takut’, mendengar kata itu saya langsung menggeser duduk saya dan nenek itu mengikuti saya. Kemudian saya genggam tangan kanannya dan saya melingkarkan tangan kiri saya pada bahu nenek.

Kemudian tidak berapa lama kemudian nenek itupun turun karena sudah sampai tujuannya. Tidak berapa lama kemudian ada seorang nenek dan kakek yang sangat  tua renta bahkan sang nenek dituntun oleh suaminya untuk berjalan karena nenek mata nenek itu sudah melekat karena saking tuanya. Kakek itu sudah berkata pada kernet bis, ‘genah-genah nak yo mbah e wes gak iso ndelok’, sang kernet kemudian berkata pada supir ‘sek jok wong tuwek sing mudun’, tapi si supir tetap saja terburu-buru untuk jalan lagi, mengendarai bis untuk melaju. Kemudian setelah satu tikungan ada seorang ibu-ibu yang berkisar antara umur 45, tas ibu itu ada 3, dan sangat besar-besar. Kemudian kernet berkata pada supir ‘sek jok, iki gawanane akeh’, dan jawaban sang supir sangat tidak lazim, supir berkata ‘gak ngurus!’, dengan nada yang sedikit membentak. Dan ibu-ibu itu ternyata duduk di sebelah saya.

Dimulailah aksi kejar-kejar an antara bis kuning yang saya tumpangi dengan bis kuning yang ada di belakang saya. Kemudian setelah itu ketika ada penumpang yang turun, si supir hanya memberikan ya, waktu sekitar 3 detik untuk berhenti, tidak itu tidak bisa dikatakan berhenti sepenuhnya, dan kernetpun sedikit mendorong penumpang yang turun. Aksi kejar-kejaran dan membuat jiwa hampir setengah mati diawali dengan menyalip truk dimana sisi jalan yang berbalik arah ada bus besar yang hampir saja menabrak bis yang saya tumpangi. Kemdian beberapa kali ngempot ke kanan dan ke kiri sehingga membuat semua penumpagnya berteriak histeris. Ibu-ibu yang duduk disamping saya hanya beristighfar, saya membentak kernet bis untuk menegur kelakuan sang supir. Dan kernet itupun terlihat was-was, berusaha menenangkan penumpang, dan mengingatkan sang supir. Supir yang bernama Joko (setelah beberapa kali saya mendengar kernet memanggil namanya untuk menegurnya) itu sama sekali tidak mendengarkan apa yang dikatakan orang-orang.

Kemudian saya berteriak pada kernet untuk menurunkan saya saat itu juga. Ibu di samping saya sudah menangis histeris. Saya memeluknya dan berkata, ‘bu, semuanya akan baik-baik saja’ tapi suara saya tenggelam dengan suara jeritan penumpang yang lain, karena untuk beberapa kalinya supir itu ngempot tajam lagi. Kemudian tepat di pertigaan Ngoro saya turun bersama ibu itu, rasanya separuh nyawa saya hilang. Ibu itu masih menangis tersedu-sedu. Sebelum turun dari bis, ibu itu berteriak pada si supir ‘mas, aku iku yo kerjo, nggolek rejeki sing barokah, nggolek slamet!’ kata ibu itu berteriak dan terdengar sangat gemetaran. Yang turun tidak hanya saya dan ibu-ibu itu saja, hampir semuanya turun, karena yang tersisa hanya ada 3 penumpang, dan semuanya adalah laki-laki.

Beberapa menit setelah kami merasa tenang, kami menaiki Len untuk melanjutkan perjalanan kami menuju Japanan, yang selanjutnya saya akan oper bis arah Surabaya-Malang. Namun sampai malam ini pun kejadiannya masih terekam jelas dalam ingatan saya, melepaskan Mama, Ayah, ketakutan nenek, dan tangisan ibu-ibu itu. Kemudian terngiang dalam benak saya, atas dasar apakah kejadian itu terjadi? Apakah karena faktor emosi supir yang masih sangat labil (karena kelihatannya supir msih berumur sekitar 23, begitu juga kernetnya)? Atau karena supir merasa bahwa peluangnya untuk mengambil penumpang telah diambil oleh bis kuning di depannya? Atau karena inilah kepribadian negara saya yang belum sepenuhnya saya kenali?

Entah yang saya tahu, sampai saat ini saya masih terkenang kejadian itu, dan saya tidak tahu sampai kapan keberanian saya muncul kembali untuk meniki bis kuning lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun