Mohon tunggu...
G. Agusta
G. Agusta Mohon Tunggu... -

Saat ini saya sedang menekuni pekerjaan sebagai Mahasiswa di salah satu Unversitas di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Sang Pemberi Kejutan"

16 Mei 2013   00:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:30 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Plaza Universitas katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) pagi itu sepi, sejuk karena hawa hujan. Lantai keramik putih dengan wilayah ruangannya yang luas seakan masih belum tersentuh alas kaki mahasiswa. Senin (13/5) kemarin seakan memberikan hawa yang berbeda dari sebelumnya. Beberapa mahasiswa sudah tiba di UKWMS sejak pukul 06.00 WIB lebih awal dari yang lainnya. Mereka terlihat sangat sibuk dengan peralatan yang tidak biasa, kursi coklat yang semula berada di atas mobil pick up diangkat dan kemudian diletakkan begitu saja di Plaza UKWMS.

Pemandangan yang tidak biasa juga terlihat saat mahasiswa lainnya sibuk mengangkat tas biru plastik yang ukurannya lumayan besar, hampir sepadan dengan karung beras. Mereka masuk dan berkumpul dalam satu ruangan. Kelihatannya hari itu mereka bebas kuliah, karena ruangan itu tanpa dosen. Beberapa orang masuk ke ruangan B307 dengan gelagat yang mencurigakan, seakan-akan tidak ingin diketahui orang lain.

Hampir empat jam mereka di ruangan itu. Tak ada yang tahu apa yang mereka lakukan. Suara gaduh, gelisah, dan panik sajalah yang terdengar dibalik pintu ruangan itu. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara keyakinan dari dalam ruangan berdinding bata itu, “Sudah siap, semuanya? Kita keluar sekarang,” kata seorang laki-laki. “Siap dong,” jawab seorang lainnya dengan nada pasti. Pintu dibuka dan tentunya mengejutkan puluhan pasang mata yang tertuju pada penghuni ruangan B307 empat jam yang lalu.

Penampilan mereka sangat berbeda dibandingkan saat mereka masuk ke ruangan itu. Mereka mengenakan pakaian adat yang beragam, pipi mereka merah bukan karena ditampar tapi hasil dari polesan make up , mereka memesona.

Belum ada yang tahu apa yang akan mereka lakukan dengan semua tata rias, pakaian adat, dan perlengkapan lainnya. Terhitung, mereka berduapuluh delapan dalam satu kelompok.

Plaza UKWMS yang awalnya sepi, perlahan-lahan mulai ramai dengan mahasiswa yang makin penasaran, “Apa yang terjadi selanjutnya?” Kelompok ini mulai tersebar di Plaza, ada yang bertugas membawa kamera untuk keperluan dokumentasi, sebagian mulai berbaris seperti menunggu giliran memulai sesuatu, tapi belum ada yang tahu rencana mereka.

Acara pun dimulai ditandai dengan pembukkan oleh salah satu anggota kelompok tersebut. “Selamat siang, semuanya. Siang ini, kami mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS akan menampilkan sesuatu yang berbeda untuk kalian. Selamat menyaksikan,” katanya. Kalimat pembuka ini makin membuat mahasiswa makin penasaran.

Tiba-tiba instrumen Jaran Kepang memecah Plaza UKWMS siang itu, bukan hanya instrumen namun lengkap dengan penari Jaran Kepang, disusul oleh tari Saman, tarian Modern, dan tari Piring. Tiap tarian dipersembahkan oleh beberapa orang yang mewakili. Pertunjukkan tersebut ditutup dengan tarian dari Papua yang ditarikan oleh seluruh anggota kelompok tersebut dan tentunya dilengkapi dengan rumbe-rumbe dengan lagu pengiring Yamko Rambe Yamko. Tepat di akhir lagu, mereka mengibarkan bendera Merah Putih sebagai tanda persatuan. Tepuk tangan massa yang hadir semakin menambah semarak acara tersebut.

Akhir acara, perwakilan kelompok tersebut menjelaskan maksud pertunjukkan mereka, “Mungkin di antara teman-teman yang hadir saat ini tdak mengerti apa yang sedang kami lakukan. Saya ingin menjelaskan kepada teman-teman sekalian bahwa acara ini bukan sekedar pertunjukkan untuk senang-senang tapi adalah bagian dari tugas Akhir Semester kami. Kami mendapatkan tugas untuk membuat iklan dan kami memutuskan untuk memilih tema budaya. Pesan yang ingin kami sampaikan kepada teman-teman adalah walaupun budaya luar telah merambat dalam budaya lokal tidak lantas melunturkan kecintaan kita pada budaya asli Indonesia. Kita boleh saja mengidolakan budaya luar, tapi jangan pernah menghilangkan budaya asli kita. Kita boleh menggabungkan, tapi tidak menggeser atau bahkan menghilangkan identitas kita sebagai orang Indonesia,” kata salah satu anggota kelompok dengan tegas. Lanjutnya, “Kami menyediakan backdrop dan spidol. Kami harap dukungan teman-teman terhadap acara ini. Jika teman-teman setuju dengan acara kami, silahkan mendekat dan jangan ragu untuk menandatangani backdrop yang kami sediakan.”

Massa yang hadir saat itu beramai-ramai mendekati dan menandatangangi backdrop yang disediakan sebagai tanda mereka setuju dengan acara hari itu. Senyum ceria, bangga, haru tergambar dari bibir mereka sang pemberi kejutan. Hari itu mereka puas, mereka berhasil.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun