Mohon tunggu...
Agus Setiono
Agus Setiono Mohon Tunggu... -

MENULIS MEMBAWA KITA MENEMUKAN DUNIA

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Secarik Pesan di Humbang Hasundutan

22 Januari 2011   16:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:17 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semilir angin malam sayup-sayup seperti bisa mulai menyapa dinginnya udara kampung malam ini. seperti hari-hari sebelumnya di sore menjelang malam ini aku masih asyik duduk di depan tungku perapian kayu di rumah sederhana ini, lantaran begitu kedinginan setelah melakukan ritual mandi sore. Entah kenapa,aku begitu tak tahan terhadap dinginnya kampung kawanku ketika malam dan kabut-kabut dari itu selalu datang menyapa. Mungkin juga karena letak kampung ini dikelilingi dolok yang begitu banyak, hingga akhirnya kabut dingin selalu turun menyinggahi kampung kecil ini. Atau bisa juga karena dari lahir hingga beranjak dewasa aku terlalu terbiasa dengan kampungku di Jawa yang berada di dataran rendah yang begitu syarat dengan iklim hangat panas.

Sore ini aroma itu kembali datang. Aroma khas yang selalu kuingat setiap kali kuberada di daerah ini. Ya, itulah aroma pohon haminjon yang banyak tumbuh di dolok-dolok(bukit-bukit) sekitar kampung sini. Aroma pohon yang sangat identik dengan Sang Tano Batak, hingga pada akhirnya ku begitu sangat mengingatnya. Dan pertama kali kucium saat berkunjung ke daerah Kabupaten Karo beberapa tahun yang lalu.

Malam ini ada rencana dari kawanku untuk berkunjungke rumah family nya yang baru saja pulang mudik dari Bogor beberapa hari yang lalu. Sekaligus kawanku ingin menunjukkan padaku tentang meriahnya Hari Raya Natal dan perayaan Tahun Baru di rumah-rumah di kampung sini. Sebenarnya aku agak malas, lantaran meski harus menembus dinginnya jalanan yang melewati ladang-ladang. Belum lagi gelapnya jalanan itu dan terkadang kulihat banyak kali pemakamn bersalib yang diselimuti tumbuhan alang-alang makin membuatku kadang berfikir entah kemana-mana membayangkan hal-hal yang tidak-tidak.

Singkat cerita, akhirnya aku mengurungkan niat untuk tetap berada di rumah dan berangkat ke rumah family kawanku. Dan ternyata benar, di jalanan ini aku harus menggigil kedinginan lantaran kabut malam ini benar-benar turun. Gemerutu gigiku seakan mengeluh begitu dinginnya malam ini. Tapi tak apalah, demi menebus rasa penasaranu mengenal lebih dekat orang-orang di kampung ini. Fikir-fikir supaya aku lebih faham tentang kehidupan orang-orang Batak dalam ruang lingkup sebuah kampung. Mungkin sangat-sangatlah jauh berbedadengan kehidupan orang-orang Batak di perantauan kota seperti yang selama ini aku ketahui.

10 menit di jalanan sudah kurasa cukup menggemerutukan gigiku oleh dinginnya malam ini. Dan sampailah juga akhirnya kami di depan sebuah rumah sederhana. Rumah sederhana yang nampak seperti kebanyakan rumah-rumah di kampung ini. Rumah-rumah dari rangkaian papan-papan dan tumpukan batu-bata semi permanen yang kurasa menyimpan sejuta kehangatan dan kedamaian. Meski nampak berjauhan jarak dari rumahke rumah, tapi aku tahu bahwa hubungan kekerabatan mereka pasti sangatlah dekat.

Dan ternyata benar. Ketukan pintu kawanku dengan disertai cakap bahasa Bataknya yang sangat kental disambut sang empunya rumah dengan begitu penuh semangat terdengar dari luar rumah.Begitu sangat seirama dengan persepsiku yang berfikir tentang orang-orang Batak yang selalu penuh kebersamaan dan kekeluargaan.

Dipersilahkanlah kami berdua masuk, setelah sang pemilik rumah yang Inang-inang(Ibu-ibu) itu membukakan pintu. Ish, tak kusangka, rumahnya yang berukuran sedang itu sudah cukup sesak menampung tamu-tamu yang datang lebih dulu sebelum kami. Kufikir mungkin tamu-tamu ini adalah orang yang punya motor(mobil)yang diparkir di seberang jalan rumah tadi. Mungkin benar juga setelah kutengok plat motor mereka yang dari daerah Jakarta. Begitupun tampilan orang-orang tamu di dalam rumah ini yang kulihat sebagian besar sepertitampilan dari orang-orang perantauan, dengan logat cakap mereka yang kadang menggunakan bahasa Indonesia. Setelah sudah cukup lama kami duduk menikmati minum dan makanan khas hari raya dengan menu utama kembang loyang dan dodol bersama tamu-tamu itu, tak berapa lama kemudian tamu-tamu itupun meminta izin untuk pulang kepada si empunya rumah.

Seusai tamu-tamu itu keluar kamipun meneruskan obrolan bersama family kawanku yang punya rumah ini. Meski aku meski harus banyak berdiam diri kerna harus sikit menyaring cakap Batak mereka. Tapi terkadang kurasa aku juga cukup faham tentang apa yang mereka bicarakan. Ish, ada gunanya juga aku belajar bahasa Batak selama ini meski belum faham kali (''gumamku dalam hati").

Sudah beberapa lama kudengar, ternyata ada cakapan yang sikit balingkudengar dari mereka. Kudengar famili kawanku yang perantauan Bogor itu sudah demam berlogat Sunda saat bercakap dengan kawanku. Padahal kawanku ketika bercakap selalu marhata Batak,tapi selalu dijawabnya dengan bahasa Indonesia logat Jawa Barat. Otomatis aku begitu sangat faham jadinyatentang apa yang mereka obrolkan. Sang saudara itupun dengan jujur berkata bahwa dia katanya lebih berada pada lingkungan Sunda dan Betawi walau banyak juga Halak Batak(Orang Batak) di lingkungan kerja dia.

Sontak dalam hatiku berkata, "sejauh-jauh apapun kita merantau, kalaupun dah kembali ke gubuk tanah airada baiknya tetap menjadi diri sendiri ketika sudah kembali". Seolah saat itupun juga membuktikan persepsiku selama bertahun dan berpindah kota, kufikir bahwa kaum perempuanlah yang kulihat lebih banyak bergengsi menunjukkuanidentitas sukunya ketika berada di perantauan. Hingga akhirnya mereka menjadi lebih merasa pantas, merasa nyaman dan merasa bangga sebagai perantauan yang yang pulang kampung dengan berbahasa Indonesia. Tersontak ingat juga aku ketika dulu berada di Bekasi di telpon Mamakku dan didengar samanya kawan-kawanku yang cakap berbahasa Jakarta. Saat itu juga Mamakku mengingatkan untuk aku selalu menjaga identitas walau berada dalam kondisi minoritas sekalipun.Apalagi aku sebagai lelakiyang nanti kelak garis keturunanku akan dibawa oleh anakku.

Singkat waktu, aku yang bermata orang Jawa ini nampaknya susah diajak buat kompromibuat markombur(begadang) sampai larut malam.Beda kali nampaknya sama Si Ceweyang diajak cakap sama kawanku iniyang kulihat masih nampak bersemangat. Lalu kuajakla si kawanku pulang, meski kutengok sebenarnya dia belum mau pulang. Dan pamitlah kami pada si pemilik rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun