[caption id="attachment_319164" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Awal tahun ini saat berkunjung ke rumah teman Indonesia di kota lain, mereka menyoroti perilaku anak saya yang bagi mereka sebenarnya cantik, namun lama-lama menghawatirkan. Anak saya, Nasywa (5 th), terlihat sering mengedipkan mata kanannya. Saya sebenarnya sudah beberapa hari cukup risau dengan hal tersebut, namun komentar teman saya "Lucu sih, tapi kalo jadi kebiasaan kan jadinya ga bagus" membuat saya lebih khawatir. Kekhawatiran saya berbuah seringnya saya memberi tahu anak saya "Adek, jangan gitu!" atau "Awas adek, matanya!" atau "Adek ih, matanya itu lho, malu dilihat orang", dan beberapa kalimat bernada khawatir setengah meneror dia. Sayangnya, jika saya tanya kenapa, dia hanya bilang di ngantuk saja. Ketika saya coba amati matanya pun, tidak ada gejala seperti mata merah, mata bengkak, trimbilan, belekan dan sejenisnya. Semua baik-baik saja. Dia pun bilang tidak sakit atau gatal maupun rasa tidak enak yang lain. Beberapa teman mengaitkan dengan kebiasaan anak-anak di sini yang suka memelototi Ipad atau Iphone untuk main game maupun nonton film lewat Youtube. Saya pun sebenarnya sempat khawatir juga akan hal itu. Bahkan demi meyakinkan diri saya sendiri, pernah saya teteskan obat mata saat dia tidur, berharap esok pagi sudah sembuh. Ternyata obat mata itu tidak berefek apa-apa. Akhirnya saya memutuskan untuk membawanya saja ke dokter mata. Namun karena keterbatasan bahasa Jepang saya, akhirnya saya memilih memperkaya diri dulu dengan beberapa pengetahuan tentang keluhan anak saya ini. Saya pun mulai buka-buka Google. Dari hasil searching di Google saya menemukan istilah untuk gejala mata sering berkedip pada anak disebut dengan TIC. Tic merupakan gejala kelainan syaraf, yang dari beberapa artikel disebutkan karena ada kelainan pada bagian bagian otak yang bernama Ganglia Basalis. Lalu pencarian saya berlanjut ke google scholar, mencoba membaca hasil-hasil penelitian tentang sindrom Tic ini. Ternyata, sindrom ini terjadi pada beberapa anak usia 5-16 tahun, dan dapat terjadi pada 6 dari 1000 anak. Gejala ini akan menjadi semakin parah jika ada faktor genetik yang mendukung. Sebenarnya Tic sendiri dibagi dua, yaitu Tic simpel dan Tic kompleks. Tic simple biasanya berupa satu gerakan berulang-ulang, seperti mengedipkan mata, mengangkat bahu, memonyongkan mulut, meremas jari, berdehem-dehem, menjulurkan lidah maupun cegukan. Berbeda dengan Tic simpel, Tic kompleks terlihat lebih mengganggu, seperti mencium benda, memegang benda atau orang, menendang-nendang, melompat-lompat bahkan sentakan yang hebat pada bahu. Tic sendiri akan hilang seiring perkembangan usia anak. Namun ada juga yang hanya beberapa minggu saja, tergantung dari penanganannya. Sejauh ini tidak ada obat yang bisa menyembuhkan Tic. Tic yang semakin parah akan menyebabkan TOURETTE syndrome dan bisa berlanjut seumur hidup. Dari jurnal yang saya baca (Journal of American Medical Association), ada salah satu terapi yang digunakan untuk mengurangi gejala Tic maupun Tourette syndrome ini, yaitu Habit Reversal Training. Terapi ini biasanya dilakukan secara berkelompok dengan mengikutsertakan orang tua dan guru. Intinya adalah mengajak penderita agar menyadari bahwa mereka melakukan kebiasaan yang kurang baik, meskipun tidak merugikan orang lain. Dengan mereka sadar maka akan membuat mereka berusaha menahannya sehingga gejalanya berkurang. Teman, orang tua dan guru fungsinya sebagai kontrol. Untuk menilai seberapa parah Tic syndrome ini, mereka menggunakan instrumen berupa questioner yang bernama Yale Global TIC Severity Scale. Dari pengalalaman saya sendiri, ini adalah kali ketiga anak saya mengalami gejala Tic. Yang pertama sekitar satu tahun yang lalu ketika dia saya tinggal di Indonesia sedang saya di Jepang, lalu sekitar musim panas tahun lalu dia terlihat memonyong-monyongkan mulutnya (dan ini terlihat juga pada beberapa anak Indonesia di sini), lalu akhir tahun lalu ketika dia mulai mengedip-ngedipkan matanya lagi. Dari pengalaman saya itu, ada beberapa hal bisa saya bagi di sini 1. Tic, pertanda anak sedang mengalami stress Awalnya saya berprasangka karena dia kebanyakan melihat layar Ipad sehingga matanya lelah. Namun seiring waktu saya melakukan komunikasi dengan dia, saya tahu bahwa ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Hidup di negara orang, sekolah di tempat asing dan hanya dia sendiri orang asingnya membuat dia cukup tertekan. Mungkin juga kurangnya waktu saya bersama dia karena dia dan saya harus berangkat pagi pulang petang membuat komunikasi kami tidak sampai ke hati. Itu saya sadari di gejala Tic yang ketiga, dan membuat saya mengambil langkah cepat, memberikan banyak waktu untuk mendengarkan cerita (keluhan) dia tentang sekolah, tentang teman-temannya, tentang gurunya, dan sebagainya. Stress dia jadi tersalurkan dengan bercerita. Hal ini saya sampaikan juga kepada gurunya di sekolah, saya meminta bantuan agar lebih dimaklumi jika dia salah mengerti perintah, bagaimanapun Bahasa Jepang itu bukan bahasa ibu dia. Bersyukur sensei (gurunya) mau mengerti dengan hal tersebut. 2. Sebaiknya Jangan Sering Menyuruhnya Mengurangi Gejala Itu Anak mungkin sedang banyak beban dalam hatinya. Dengan kita sering bilang "Adek ga boleh gitu!', "adek awas matanya ditahan", dan kata-kata lain yang membuat dia lebih tertekan. Mengajak dia ke depan kaca, mengamati wajah di sendiri saat berkedip-kedip atau monyong-monyong membuat dia sadar bahwa hal itu tidak baik, selebihnya dia akan tau bagaimana mengontrolnya. Yang biasanya merasa malu adalah kita, orang tua. Apalagi ditambah teguran dan omongan teman lain membuat kita jadi banyak tuntutan pada anak. Padahal sebenarnya anaknya sendiri tidak merasa terganggu, karena gerakan itu terjadi secara reflek, bukan sesuatu yang harus dipikirkan sebelumnya. 3. Cari sebuah cara terapi yang anak merasa nyaman Untuk gejala kedip-kedip mata, saya menerapi anak saya dengan mengelus-ngelus matanya setiap hendak tidur, bahkan setiap saat saya dekat dengannya. Katika saya bilang, ko kedip-kedip lagi? Maka dia otomastis akan mengelu-ngelus matanya atau meminta saya mengelus-ngelus matanya. Saya hanya berharap saya memberikan kenyamanan, pun dia juga merasa nyaman jika harus mengelus matanya sendiri. Dalam waktu kurang dari 2 pekan, gejala kedip-kedip anak saya pun hilang dengan sendirinya. Seperti dua gejala yang sebelumnya terjadi, namun kali ini saya berharap telah melakukan terapi dengan benar. Terapi psikologis yaitu dengan memberikan waktu dan perhatian ekstra, serta terapi kebiasaan (behaviour theraphy) yaitu dengan memberi tau dia tentang kebiasaannya dan berusaha mengurangi kebiasaannya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H