[caption id="attachment_333745" align="aligncenter" width="585" caption="Aktivitas jual beli di Pasar Cikini, Cikini, Jakarta Pusat| Iliustrasi/ Kompasiana (Warta Kota/Henry Lopulalan)"][/caption]
Sudah beberapa hari ini bersliweran tulisan mengenai dunia pertanian kita, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara tengkulak dan petani. Secara umum semua menilai bahwa tengkulak semacam lintah yang menyerap darah petani untuk kekayaan mereka sendiri. Tidak peduli petani sudah kelojotan kehabisan darah, masih terus saja dimanfaatkan untuk kemakmuran hidup para tengkulak. Banyak yang memberikan penilaian yang negative terhadap tengkulak mungkin karena beberapa praktik beberapa tengkulak yang terkesan seperti itu. Tak berhati nurani.
Sejauh yang saya tahu, tengkulak pun masuk dalam sistem ekonomi pertanian yang tidak dapat dipisahkan dari petani, terutama petani dengan modal kecil dan kepemilikan lahan yang tidak terlampau luas. Jika ada yang beranggapan bahwa tengkulak selayaknya praktik rentenir, meminjamkan modal pertanian dengan bunga dan dengan semena-mena menentukan harga produk pertanian yang dihasilkan oleh petani tersebut, maka saya katakana bahwa sejauh yang saya ketahui, jika ada 100 tengkulak yang saya kenal maka hanya satu yang seperti itu dan pasti usahanya tidak akan bertahan lama.
Bagaimanapun pertengkulakan juga bisnis. Sebuah bisnis yang menjanjikan tentu banyak pesaingnya. Jika dengan melakukan praktek pertengkulakan selayak rentenir maka bisa dipastikna hanya petani dengan tingkat keterpaksaan yang amat tinggi yang akan dating ke rumahnya meminta pinjaman modal. Atau apesnya, petani tersebut pun punya perilaku buruk, sering membohongi tengkulak-tengkulak baik yang sudah memberikan dia pinjaman modal, tetapi si petani menjual hasil pertaniannya ke tempat lain.
Bagaimana saya bisa berkata bahwa sejatinya tengkulak adalah teman petani? saya adalah anak, adik, ponakan, dan kakak dari tengkulak. Keluarga besar saya dari pihak ibu adalah tengkulak, khususnya untuk petani tanaman hortikultura, lebih khusus lagi cabai. Dalam praktik pertengkulakan keluarga kami, dan sanak saudara kami yang juga sebagain besar tengkulak, kami tidak mengenal penerapan bunga pinjaman. Pun tidak pernah ada perjanjian hitam di atas putih bahwa petani harus menjual hasil pertaniannya kepada kami. Semua dilakukan dengan asas saling percaya.
Paman saya, seorang tengkulak cabe yang 'memiliki' petani di kaki gunung merapi dan merbabu, sejak puluhan tahun rumahnya selalu ramai oleh petani dari pagi sampai pagi lagi. Jika masa tanam tiba maka gudang akan penuh dengan plastic mulsa, pupuk, benih dan berbagai kebutuhan lain yang memang diperlukan petani. Bangun tidurnya paman saya (yang selalu siang karena malam menunggu pengiriman cabai ke kota lain) selalu ditunggu berderet-deret oleh petani-petani tersebut. Sudah tahu paman saya bangunnya pasti siang, dan pasti ada ritual memngambil uang dulu ke bank dan baru sampai rumah sekitar pukul 2 siang, tapi petani-petani itu pasti sudah menunggu sejak pukul 10 pagi. Betapa bibi kami pun sibuk menyiapkan minuman, teh manis hangat, dan camilan kepada mereka. Semua usaha (bisnis) ini benar-benar dilakukan dengan niatan membantu para petani agar mereka bias terus berusaha.
Meski tak sebanyak paman saya, ibu saya pun adalah tengkulak di kampung saya. Petani yang dating minta dibelikan pupuk, benih, dan aneka rupa kebutuhan bertani. Dicatat di dalam buku, kadang bahkan hanya dicatat di atas kalender yang menggantung. Semua itu ibu saya lakukan karena dulu, dia pun hanya seorang petani dengan modal kecil meski tanah kami terbilang cukup luas. Beliau sering cerita bagaimana menunggu panen itu terasa lama, sedang makan dan kebutuhan lain tak bias menunggu panen tiba. Setelah panen harus lagi menyediakan modal untuk pertanaman selanjutnya, yang bahkan sisa penjualan hasil sebelumnya belum tentu bersisa. Demikian seterusnya bertahun-tahun lamanya. Itulah beratnya bertani.
Sedikit lebih maju dibanding ibu saya, kakak laki-laki dan sepupu saya sudah memanfaatkan komputer sebagai tempat menyimpan segala catatan hutang dan penjualan hasil pertanian para petani. Petani yang dating pun selalu membawa buku catatan khusus (seperti tabungan), sehingga penjualan hari itu dan hari-hari selanjutnya tercatat dengan rapi, termasuk berapa uang yang dimasukkan sebagai cicilan hutang dan berapa yang diambil oleh petani untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Â Apakah mereka selalu melarang petani mengambil uang jika hutang mereka belum lunas? tidak! bahkan sampai musim tanam berikutnya hutang mereka masih berbilang ratusan ribu pun tidak mengapa. Itulah yang menyebabkan setiap musim tanam tiba, paman saya selalu menjual habis mobilnya, perhiasan yang dipunya, dan segala barang yang bias dijual, agar tidak ada petani yang kecewa. Saat panen, paman bias membeli mobil 3-4 buah, bibi saya bias membeli perhiasan emas ratusan gram, semua itu adalah bentuk antisipasi jika saat musim tanam tiba namun petani-petani tersebut tidka mampu mengembalikan hutang mereka.
Apakah pernah dibohongi? Ada petani yang ingkar janji? Tidak membayar hutang? Jangan ditanyakan hal itu. Ada masa dimana keluarga kami dalam keadaan sangat terpuruk, hutang bank dimana-mana, sedang petani tidak bias membayar hutang karena hasil panen yang tidak bagus. Apa yang kami lakukan? Apa yang bias kami jual kami jual. Kami jual tanah, rumah, semuanya petani bias terus menanam. Bagaimanapun jika petani berhenti menanam usaha kami akan berhenti. Pun sebaliknya, jika usaha kami berhenti ada ratusan karyawan pemilah cabe yang terlantar hidupnya, dan ada ratusan anak petani yang terancam sekolahnya. Bagi kami itu semua hanya pasang surut bisnis, meski benar-benar, pernah terjadi dimana sepupu saya benar-benar sudah tidak punya apa-apa lagi dan harus pulang ke rumah ibunya karena terpaksa menjual rumahnya.
Lalu bagaimana saat panen tiba? Kami akan membeli hasil panen dengan harga yang memang sudah kami dapat dari pedagang di pasar induk Jakarta, atau pasar-pasar lain di kota lain. Petani bisa melakukan crosscheck ke pasar lain atau manapun. Terkadang harga yang kami beri lebih tinggi dari harga pasar, namun juga kadang lebih rendah beberapa rupiah. Semua saling memahami kondisi pasar yang tidak stabil. Memang ada kalanya, satu dua petani yang selingkuh menjual ke pembeli lain saat harga kami lebih rendah beberapa rupiah. Tapi masih banyak petani yang setia, berapapun harga yang dikasih pasti akan diterima dengan senang hati.
Apakah pemerintah melirik kami? Menganggap kami sebagai partner? Hahahaha...jangan tanyakan itu. Pemerintah seolah-olah hidup lain dunia dengan kami, petani dan tengkulak. Maka sebenarnya, kami ini menunggu pemimpin yang tidak hanya punya program pertanian yang baik di atas kertas. Tapi kami menunggu pemimpin yang bisa mengeksekusi program pertanian yang memihak pada petani itu dengan sebaik-baik eksekusi. Kebijakan yang mencerdaskan petani, bukan menyumpal mulut petani. Kebijakan yang membuat petani merasa dihargai, bukan sebaliknya, kami yang harus munduk-munduk pada pemerintah.