Hijau pagi tak suntuk
Buka jendela lalu ditimpa jalan panjang
Ia usah berlama diam
Karena ranjang telah berhenti bergoyang
Yang bersih dan wangi
Harusnya mulai usik
Gelitik sedikit tak apa
Terus beningkan hati, sendiri
Selamatku padamu alam kita, sedikit ia pancing imannya
Beda banyak dalam kunjung tak putus
Kau langit kau bumi kau yang juga dikeduanya
Mau harus mau duduk yang sama
Hari itu ia mulanya senyum, lalu tiba saatnya untuk tangis
Ada ruang ia temui, persis asap hitam dari cerobong rumah yang lagi sakit
Ngepul paling pekat, dia hirup enggan tapi harus, tak ada lain
Dayungnya mulai layu, buih campur racun terlalu gelora
Ia nampak kalah tapi tak serah asa apalagi pasrah
Perahunya linglung bingung dimana harus cari payung
Ia memutar balik,
Sementara angin makin ribut dan sibuk pecahkan buih
Ia temu pandang yang lagi butuh teduh
Tapi telah hanyut dibawa mau yang lebih dulu
Manusia itu terus saja menabung tawa, hingga tak terhitung rakus bungkus manusia lain yang makin kurus
Ikan mati mengapung, lambungnya kembung karena terlalu banyak minum sabun
Anjing payah mengaung hanya bisa menabung
Serigala tak mau ambil pusing yang penting terus untung
Ah
Ia bangun
Dari menung dan mendung
Ia ke dapur aduk kopi campur susu
Lalu candu dan mulut mulai beradu
Dan
Mata kosong seperti dipasung
Ia saksi atas tumbangnya pohon, kejamnya banjir dan bangsatnya tuan yang banyak tahu tapi tidak punya malu
Ia masih tunggu, bukan ragu
Samping lengan sabar yang teguh
Dan dunia goyah terus merah dan gerah
ia resah temukan dirinya, yang tak suntuk dan hijau
riuh dialiri hari yang subuh
bukan yang begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H