24 September 2004. 10 tahun lalu, penulis bersama Kak Syahrir Hamdani, serta Rusman Syafri alias "Tony Double One" pulang menuju Polewali. Dua hari sebelumnya ada juga Alfiansyah Anwar wartawan Fajar Biro Polemaju yang ikut meliput ketuk palu tanda jadi Sulawesi Barat di Gedung Nusantara IV DPR RI, 22 September 2004.
Saat itu ada tiga wartawan yang diundang Pemkab Polman untuk melaporkan momentum paling bersejarah, dan mengharu-biru bagi rakyat di Tana Mandar. Penulis dari Radar Mandar (kini Radar Sulbar), Rusman mewakili Harian Pedoman Rakyat dan Radio Suara Sawerigading, sementara Alfian dari Harian Fajar.
Di Jakarta, Kak Syahrir-kami sering menyapanya demikian, berempat kami sering melewatkan waktu bersama hingga bersepakat pulang bareng. Kebersamaan itu ditandai dalam wawancara sampai diskusi berjam-jam. Dimulai dari Hotel Syahid sampai kami diminta pindah ke Hotel Ibis.
Meski Sulawesi Barat telah dinyatakan sebagai daerah otonomi baru, tetapi salah satu ujung tombak perjuangan Sulbar itu masih memikirkan banyak hal, antara lain masa depan daerah ini di kemudian hari. Di Jakarta kala itu, juga hadir pengusaha Mandar kawan dekat Syahrir dari Kutai Kertanegara, H. Sabir Nawir yang memasilitasi dengan baik.
Dalam perjalanan pulang, Alfiansyah ingin mampir lebih dahulu di Makassar. Akhirnya kami bertiga menumpangi minibus milik Kak Syahrir yang diparkirnya di bandara Hasanuddin beberapa hari. Tanpa mampir lebih lama di Kota Daeng roda empat itu menerobos malam ke Sulawesi Barat. Perjalanan ini tentu menjadi penting bagi penulis, bagaimana tidak, siapa pun tahu, diantara tokoh kunci perjuangan Sulbar sedang bersama kami.
"Di, tolong ingatkan ya bila sudah dekat perbatasan Binuang..." kata Syahrir sambil menyetir mobilnya. Saat itu kami baru saja memasuki daerah Maros. Tanda waktu sekitar pukul 10 malam, atau lebih dari itu.
Tanpa bertanya mengapa Syahrir hendak diingatkan, penulis yang duduk di depan hanya mengangguk menikmati jalan yang mulai lebih sepi. Rusman Tony yang duduk di kursi tengah juga seingat penulis tidak mengulik kalimat itu.
Seperti lazimnya perjalanan panjang yang melelahkan sejak dari Jakarta, apalagi harus berkendara di malam hari tanpa sopir pengganti, suasana di ruang minibus itu jelas dipadati puspawarna argumen, rupa anekdot, juga ekspektasi masa depan yang melenting jauh. Kak Syahrir tidak pernah kekeringan ide, ditambah kami berdua yang menemaninya malam itu.
Setelah melewati Lasape Kak Syahrir menyarankan agar kami istirahat sejenak. Setelah mencari tempat yang dianggap aman dan nyaman di sisi trans Sulawesi itu, kami lalu rehat dengan memarkir mobil di depan sebuah warung yang telah tutup di sekitar Duampanua, Pinrang. Tanpa tengok kiri-kanan, kami pun tertidur dalam dengkur pulas.
Jelang shalat subuh kami terbangun. Perjalanan kembali merayapi aspal yang dingin. Penulis lalu mengingatkan bahwa sebentar lagi kami akan tiba di daerah Binuang. Kendaraan tak lagi melaju lebih kencang. Kak Syahrir yang mengendali setir hanya terlihat menatap lebih fokus ke depan. Seperti ada yang mulai nanar di pandangan itu.
Begitu sampai perbatasan Paku, ia segera menggamit sajadah hijau pupusnya. Segera saja Kak Syahrir bergegas menuju lantai semen di ujung jembatan yang memisahkan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Penulis bersama Tony mencoba mengamati apa yang sedang berlaku. Sebelumnya kami telah singgah shalat subuh.