Mohon tunggu...
Adi Arwan Alimin
Adi Arwan Alimin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Aktif mengampanyekan urgensi keterampilan menulis bagi anak-anak dan generasi muda. Penggagas Sekolah Menulis Sulawesi Barat. Kini bekerja sebagai editor dan menulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Percakapan Surat Suara

7 Mei 2014   17:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lima tahun bukan waktu yang pendek. Ibarat siklus musim yang terus berputar dan mengitari sisi kehidupan. Keriuhan itu datang lagi, mementas janji dan mengentas galau yang sekian tahun mengendap, sebagai landscap yang mencemas atau mengharu-biru. Suara-suara itu melantunkan komat-kamit sebagai sembur kata yang mengikat, atau mantera menyembur.

Demikianlah yang berlaku, dan berkesudahan dari waktu ke waktu. Satu-satu suara itu kini dikail dengan mata pancing paling memikat. Jalanan menjadi riuh rendah, pepohonan harus menahan rasa perih untuk setali, pun segerombol dukungan yang ditiup dari buhul para makelar. Konon kabarnya, suara dapat dibenih di atas gerusan fulus buat memuluskan hasrat, siapa tahu, begitu kata orang-orang. Konon suara dapat dibiakkan.

Bila ingin menghitung, inilah tahun dengan deret bunyi dan kata yang paling banyak mengumbar janji, dan kehendak memastikan masa depan. Lihatlah lempengan kata di spanduk-spanduk itu, atau sapaan simbolik yang menguntai keindahan atau sebagai gunjingan di baliho.

Jauh dari knalpot kendaraan bermotor yang mengasapi jalan raya. Sebuah percakapan intim dan cemas meruapi udara. Orang-orang tak mengira kertas-kertas itu berbicara satu sama lain. Saling menyungging kalimat, saling menaut. Saling menikam sesal.

“Aku telah kesekian kali ditetak di sini,” terdengar surat suara yang dihimpit di sudut gudang.

Ia tampak buram dalam lipatan yang pekan lalu diborong pekerja dadakan. Bersamaan jutaan lembar harapan, warnanya memudar sedangkan surat lainnya belum terlalu dekil untuk hitungan tahun.

“Kenapa warnamu, seburam itu?” Sergah rekannya yang berada dalam posisi lebih baik. Sebab di atasnya terdapat kipas angin yang terus mendorong baling-baling tanpa henti di ruang yang menguras keringat itu.

“Lima tahun sekali dalam dua dekade ini, Aku selalu datang di tempat ini. Lelah sebenarnya, tapi orang-orang yang melipat surat suara cukup terbantu. Sebenarnya saya mau pensiun saja...” balasnya bernada gerutu.

Ada rasa gerah yang membungkus gunungan surat suara, yang kini ditumpuk di gedung olah raga. Cuacanya panas. Maklum sepemandangan di luar tempat itu menghampar laut yang terus saja mengirim udara mengering. Saling susun dalam himpitan karton bekas apa saja, tak memberi kisi-kisi lebih menyegarkan. Orang-orang juga digenangi peluh. Padahal kemarau belum juga tiba musim.

“Kalau aku ini pengalaman pertama.”

Bunyi kertas berwarna lebih muda dari empat surat suara yang ada.

“Pasti mendebarkan,” ujarnya lagi.

Orang-orang tak pernah mendengarkan percakapan itu. Lalu lalang di ruangan itu sebenarnya juga terbatas, kecuali staf yang berbicara sedikit saja. Mereka sibuk mencatat, menuliskan keterangan isi dan tujuan di halaman sampul atau sisi dos, dengan spidol besar.

“Lebih tepat mencemaskan.” Sambung suara lainnya.

“Kenapa demikian?”

“Bila kamu dipakai dengan cara yang salah. Kamu bisa mendudukkan seseorang di kursi empuk parlemen, dengan dua cara, cara yang baik atau cara buruk,” sebut warna yang lebih tua di tengah pembicaraan itu. Tanpa menjelaskan perbedaan sisi baik atau buruk secara gamblang kepada suara muda tadi.

“Apakah saya tidak bisa memilih.”

“Di sini kita tidak punya pilihan. Kita ini alat tukar, dengan nilai satu suara. Jangan berpikir untuk bisa menilai martabatmu, bernilai seperti apa nanti...”

“Itu tidak adil namanya.” Sergapnya meninggi.

“Jangan bicara pilihan, nilai atau kehendak apapun. Kita tidak memiliki daya...”

Tiba-tiba. Brukkkkk. Sebuah karton berukuran sedang terlihat terjatuh. Menimpa karton berukuran kecil di bawah. Tak ayal yang lain ikut bergeser ke lantai. Beberapa kardus ikut menimpali hingga terjadi kegaduhan di ruangan. Orang-orang segera menghambur diri. Menyusun kembali sisa keributan itu.

“Aduh...” terdengar keluh surat suara yang sejak tadi tak pernah bersuara, ketika sekepal tangan orang-orang itu menunjukkan tanda kerapian sambil menepuk sisi karton cukup keras. Plak!

***

“Hai. Kamu di sini juga...” sapa warna muda itu kepada warna lebih tua yang bertemu beberapa hari lalu.

“Kalau kita sewarna, kita pasti tidak akan ketemu. Berhati-hatilah...” ujarnya begitu melihat deretan orang-orang yang mulai bergerombol di sekitar tempat pemungutan suara.

“Setelah hari ini mungkin kita juga tidak akan ketemu lagi. Aku melihat warna di kotak suara itu. Kini saya paham mengapa berada di sini.” Ujar anak muda itu, ketika dihampar bersusun di meja milik ketua kelompok penyelenggara pemungutan suara. Seperti kata temannya, ia tidak perlu banyak berpikir atau mencoba untuk menilai peristiwa di tempat itu.

“Tapi ajari saya satu hal.”

“Tentang apa?”

“Tentang cara menikmati suasana, bila ternyata saya hanya dipakai untuk mencoblos orang-orang yang tak pantas itu.”

“Bukankah tak ada pilihan bagi kita?”

“Tapi saya tak rela bila, harus dilukai dengan paku itu, tapi martabatku hanya untuk disematkan pada pemilik suara buruk. Biarkan saja saya terburai asal untuk orang-orang yang lebih patut itu. Biarpun hitunganku tak akan menggenapi kursi, saya telah cukup puas bila tak keliru pakai...”

Yang lebih tua diam. Sebuah tangan telah memegangnya. Ia tahu sebentar lagi akan dipapar di atas bantal spon untuk sebuah nilai, yang sulit diukur seberapa tinggi atau rendah. Ketika ia keluar dari bilik suara. Warna lebih tua itu terlihat melukiskan wajah sedih. Ada kekalahan yang diisyaratkan dari balik genggaman, dimana ia tak memiliki kuasa.

“Sampai nanti sobat, berdoalah kawan...” teriaknya dengan mata sembab. Beberapa saat lalu di bilik suara yang dibuat dari karton, ia seperti menerima hempasan kilat. Menyilaukan. Rupanya blitz kamera telepon genggam. Ia tahu peristiwa itu hanya untuk menjadi alat tukar rupiah di luar TPS. Sebelum akhirnya dipaksa menjejali lubang kotak suara, ia merasa sangat kuyuh, dan kembali luluh seperti lima tahun lalu. Kali ini ia kembali terbeli.

Surat suara lain yang mendengar itu, menjadi gusar. Terik matahari yang mulai meninggi pun seperti menguras pori-pori. Renik surat suara yang menjalar di bawah tinta mesin cetak itu, seperti memudar. Pucat kesi. Mereka pasi, sadar sedang berada di TPS yang salah untuk kesekian kalinya. Tak ada air mata yang melelehkan siang itu. Hanya gurat waktu yang berulang. Mereka terbeli.

Kertas warna merah mudah itu bergetar. Ketika lamat-lamat sebuah benda pipih berujung tajam dalam hitungan detik menyentuhnya.

“Bismillah...” terdengar lembut robekan kertas yang mengganyang.

Kertas warna merah muda itu lunglai. Ada senyum mengembang kepada teman-temannya ketika ia tahu, orang yang sedang memandunya ke kotak suara, melirihkan ucapan itu di bilik suara. Ia percaya kali ini, warna muda itu disampirkan ke pilihan terbaik. Tak ada lagi percakapan. Hanya terdengar rintihan lirih serupa sesunggukan dari balik dinding kotak suara di sampingnya.

“Beruntunglah kau anak muda.”

Tak ada lagi percakapan. Sesal salah memilih. (*)

Mamuju, 7 Mei 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun