Literasi tidak asing bagi kita. Kata ini amat familiar meski pada awalnya pengertian literasi itu hanya sekedar kemampuan membaca dan menulis. Seiring perkembangan waktu peran literasi dapat diringkas ke dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks.
Gerakan ini berkecambah sebagai akar mula kegelisahan melihat fenomena yang terjadi di sekitar kita. Studi kasusnya pada minat baca yang rendah, dan budaya kopi paste yang menjamur. Tidak hanya di ruang-ruang publik yang lebih luas, pun penulis menjumpai aktivitas itu di kelas-kelas mata kuliah di perguruan tinggi.
Ketika Ombudsman Perwaklian Sulawesi Barat mengajak Forum Lingkar Pena (FLP) Sulawesi Barat berdiskusi tentang muatan kampanye pendidikan budaya anti maladministrasi dan anti korupsi, FLP segera menggamitnya. Lahirlah agenda Kosa Kata yang merangkum Temu Teater dan Sayembara Menulis Cerita Pendek 2015.
Ajang ini awalnya terasa asing mengingat temanya yang disebut cukup berat. Topik anti korupsi dan maladministrasi memang menjadi realitas sehari-hari, baik melalui media cetak dan elektronik. Namun, diperlukan kontemplasi tinggi untuk bisa menulisnya dalam karya cerpen serta pertunjukan teater.
Sebenarnya ada beberapa pilihan program kampanye anti maladiministrasi dan anti korupsi yang dibicarakan, namun langkah awal untuk lebih membumikan peran dan fungsi Ombudsman di Sulawesi Barat, panitia mendorong seni teater dan lomba menulis. Hal ini untuk memperkuat program sosialisasi yang telah dilakukan selama ini.
Upaya menjangkau generasi muda melalui agenda kesenian dan tradisi menulis menurut FLP sebuah pendekatan untuk ikut memecah kebuntuan budaya literasi, disamping mendekatkan Ombudsman sebagai pengawas layanan publik. Respon publik yang cukup besar terbukti muncul dijejaring media sosial. Banyak pihak yang bertanya dan browsing di internet.
Dan, 48 cerita pendek yang dikumpulkan dalam 10 hari efektif, memuat puluhan ide tentang layanan publik dan sikap kritis peserta mengenai keadaan di sekitarnya. Juara satu sayembara menukil soal bantuan kacang ijo, judul "Setengah Liter" terasa menukik kesadaran bahwa memotong atau mengambil sejumput bantuan untuk masyarakat miskin juga bagian dari perilaku korupsi. Sekarung atau setengah liter tetap saja korup.
Ide cerita pendek itu menyedot perhatian Bustan Basir Maras, Syariat Tajuddin, Suparman Sopu juga saya. Sistem penjurian yang hanya menilai karya tanpa tahu nama pengirim naskah menjamin bahwa realitas yang diangkat telah mendapat nilai sepantasnya. Kreatifitas peserta memantik kesadaran mengenai kengerian kita pada tradisi menyunat bantuan masyarakat. Itu faktawi.
Sindiran keras juga dikirim melalui cerpen Rangking Rekayasa. Kisah tentang intervensi seorang pejabat setingkat kecamatan pada seorang kepala sekolah, lalu kepsek kepada guru untuk meloloskan siswa paling malas di sekolah untuk tetap naik kelas. Perilaku yang menyundul etika administrasi yang sepatutnya tidak perlu terjadi.
Ini hanya dua contoh yang mewakili apresiasi penulis pada 20 karya terbaik. Sungguh proses kreatif peserta dalam mengeksplor kesehariannya dapat dituang secara apik. Lukman Umar Kepala Perwakilan Ombudsman menyebut, pengawasan pada kualitas layanan publik harus ditingkatkan. Sedang 48 cerpen yang diterima panitia membuktikan kegamangan pada layanan publik yang buruk.
Dari puluhan karya itu kemudian terpilih 20 karya terbaik. Setiap kategori merangkum masing-masing 10 cerpen terpilih untuk tingkat pelajar, dan mahasiswa/umum. Meski masih akan dilakukan editing jelang penerbitan antologi bersama, ide; kreatifitas; pesan; dan gaya bahasa mereka telah cukup mewakili ekspektasi kita tentang layanan publik yang ideal?