Setiap orang memiliki minat yang berbeda pada buku. Sumber belajar ini sering hanya menjadi buntal pajangan yang menghias lemari, atau bahkan berdebu di atas meja. Cara yang tidak sama dalam memandang buku sebagai gudang ilmu pengetahuan juga menempatkan siapa saja secara adil di depan majelis peradaban.
Buku ibarat guru, yang bisa hadir atau tidak hadir. Namun kelebihan yang dimiliki buku ia tetap setia menemani manusia, ketika mungkin sosok guru dalam gestur ideal tak bisa hadir setiap saat di sisi kita. Buku dapat mengambil peran itu kemana pun, buku ternyata amat patuh. Kitalah yang sering tidak loyal.
Anda bisa bertanya pada guru yang hadir dalam kelas, atau di ruang belajar lainnya. Bila belum mengerti juga apa yang dijelaskan guru, anda masih memiliki waktu untuk kembali bertanya. Guru yang hadir sesungguhnya sebagai alat hingga kita tak memungkinkan bagi kita untuk bertanya dengan amat kritis dan sekerasnya. Berapa durasi yang dibutuhkan untuk menggali kedalaman ilmu yang dimiliki guru. Masih banyak kawan lainnya yang juga membutuhkan referensi berjalan itu.
Bandingkan dengan buku. Media ini memaksa Anda untuk menjawab setiap pertanyaan yang muncul di benak. Anda harus lebih banyak menggaulinya lebih intim untuk merebut semua konten yang tersusun dalam outline, hasil tafsir penulisnya. Bila tak puas dengan jawaban dari satu buku, mungkin anda masih memerlukan keberadaan buku lainnya yang relevan. Jika dua buku belum cukup, masih banyak buku lain yang sesuai.
Guru yang hadir memiliki fungsi tempat bertanya, share pengetahuan, dan membimbing kita menemukan puncak-puncak ilmu. Ketidakhadirannya lalu kemudian menggiring kita untuk memindai semua teks hingga menjadi alas penemuan baru yang memungkinkan kita menulis buku dengan ide berbeda.
Buku sebagai guru mirip dengan alam atau kehidupan. Setiap pertanyaan yang Anda ajukan akan memberi jawaban sejauhmana anda memiliki kemampuan berpikir, dan daya analisis. Semakin anda karib pada buku, maka kemampuan anda membaca dan merentang prediksi masa depan akan lebih luas dan matang. Pada titik ini kita seringkali amat membutuhkan seorang guru yang hadir, sebagai tempat menyandarkan hakikat yang kerap tidak terjawab.
Buku secara konvesional adalah kumpulan bab yang berisi paragraf-paragraf yang dibangun oleh kalimat-kalimat magis. Oleh rangkaian kata dan fonem yang tidak hadir begitu saja. Sebab itu, membaca buku merupakan proses kehidupan yang memerlukan daya jangkau dan kesadaran untuk menggamit makna yang dibawanya.
Ini bukan hanya mengenai cara belajar instruktif maupun observatif, namun ada nilai lebih tinggi dari itu. Tak heran mereka yang melekat pada buku niscaya memiliki nilai beberapa derajat dari yang lainnya. Itu janji Tuhan.
Kini buku semakin kental dengan manusia. Teknologi yang kian canggih telah memberi banyak kemungkinan bagi setiap orang. Bila anda merasa jengah karena kuatir disebut kutu buku, anda bisa menghadirkan guru terbaik itu dalam fasilitas cerdas pada semacam alat komunikasi saat ini. Ebook, orang menyebutnya demikian.
Buku tak hanya berisi apa yang kita butuhkan. Buku juga merangkum seni membaca, yang mencakup keterampilan menemukan, pengamatan yang baik, penguatan memori, kekuatan imajinasi, dan kesempatan melatih taraf kecerdasan secara terus menerus. Maka buku tidak lain sebagai guru, yang dapat selalu hadir di kehidupan kita. (*)
Padang Bulan, 23 Februari 2015