Kemajuan teknologi telah mengubah batas fisik, daya jangkau dan pandangan. Sejauh ini ada sebagian orang merasa ketika menguasai gawai di tangannya, pikirannya seolah telah tahu segala hal. Tak heran bila kita kerap menemukan orang-orang yang serba paling segalanya, atau merasa sok pintar.
Buku bertajuk "Matinya Kepakaran" yang ditulis Tom Nichols memperjelas asumsi itu. Orang yang tak memiliki jenjang pendidikan akademik memadai, misalnya tiba-tiba dapat mendebat seorang guru besar, karena merasa tahu segalanya. Ini merupakan bagian dari ciri era serba tahu dan merasa lebih pintar. Seorang Presiden di Afrika bahkan mengabaikan anjuran pakar kesehatan padahal untuk keselamatan bagi warganya sendiri.
Bre Redana jurnalis senior yang juga seorang sastrawan menggambarkan, kalau di stadion terdapat 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pula pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya (gramedia.com). Orang-orang yang merasa pintar dapat suang ditemukan di media sosial.
Orang yang demikian dikenali mengalami Dunning-Kruger Effect, yakni orang yang merasa dirinya selalu lebih unggul dari sisi pengetahuan maupun kemampuan lain dibanding orang lain. Padahal sesungguhnya orang seperti ini tidak menyadari bila pengetahuan yang dimiliki ternyata berada jauh di bawah orang lain. Tetapi inilah bias dari kekeliruan cara berpikir akhir-akhir ini (kompas.com/lifestyle).
***
Sebagai pegiat literasi, saya sendiri terus berusaha mengenalkan tradisi membaca sejak dini bagi anak-anak di rumah. Rute yang begitu menanjak tetapi mesti dilalui agar mereka sampai pada kesadaran bahwa membaca itu aktivitas utama.
Teknologi yang kian maju, mengharuskan kita terus mengenalkan budaya membaca dan tantangan media baru. Antara membaca teks dari halaman kertas juga narasi yang menyerbu setiap hari. Intinya, teruslah merawat kebiasaan membaca bersama anak-anak, kelak mereka akan mengerti mengapa hari ini kita terus meminta lebih rajin membaca.
Budaya lisan atau tradisi obrolan di Indonesia yang sangat kuat memang dalam transisi menghadapi lompatan kemajuan informasi teknologi. Yang datang bersama ribuan aplikasi beragam kegemaran lain. Namun idealnya dari rumah, kebiasaan membaca bersama anak-anak akan menumbuhkan daya baca lebih kuat. Tentu tidak semua orangtua memiliki kesempatan banyak untuk dapat mendampingi putra-putrinya dalam kebiasaan ini.
Namun selalu ada ruang pertemuan dalam rumah masing-masing yang dapat menjadi destinasi bersama. Â Tantangan paling dekat adalah gawai, kita kemudian menemukan persamuhan yang masing-masing disertai smartphone lalu menjadi samuh amat sepi. Sebab setiap orang kemudian membangun interaksinya masing-masing. Â
Rasa yang mesti dibangun adalah ingin tahu, tapi bukan malah merasa yang paling tahu. Â Ingin tahu atau penasaran pada sesuatu sebenarnya positif, sebab akan memicu seseorang untuk meramu segala pertanyaan atau keraguan di benaknya, dengan membaca misalnya. Â Rasa ingin tahu dan banyak membaca akan menempatkan seseorang sebagai pribadi yang berpikir terbuka. Â Ciri pentingnya seseorang akan merasa awam pada hal baru.
Â
Lalu mengapa membaca makin urgen saat ini? Â Agar kita tidak ikut dalam jaring efek merasa diri lebih pintar atau sok tahu. Â Atau, serta membanjiri dunia maya dengan telur setengah matang.