Badar merapal mantra. Dengan bisik yang hanya didengar telinganya, ia terus saja mengulumkan kata magis di posiq arriang. Duduk bersila dalam balutan sarung sutra kemerahan, tangannya bersedekap di dada, sekali dibuatnya sapuan ke sekujur tubuhnya.
Ia seperti membuat selubung tak terlihat yang membentengi dirinya dari sentuhan apapun. Hingga akhirnya sebuah tetak udara dilukiskan pada tiang rumah utama. Seutas tali yang dipilin kecil dari daun lontar, diikatnya melingkar. Ritual itu hampir tak meninggalkan bunyi, kecuali desau nafasnya.
Pemandangan itu dibalur kepul pelita bersumbu. Wajah Badar membayang di dinding gamacca, setitik peluh menyembul di keningnya. Matanya sejurus mencari titik terjauh yang kemudian ditariknya demikian dekat ke kornea. Komat-kamit berisi doa keselamatan segera meruapi songi dimana dia bersila sendiri. Mantera itu untuk membuang sial.
Kemarin, ia masih sempat menyusur sisi bukit Palli. Di kampungnya setiap lelaki yang hendak beranjak pergi seperti wajib untuk melata mencari sesuatu di lereng bukit. Apa saja yang bisa ditanam ke tanah. Tak sampai siang Badar telah menggendong seonggok sisa akar-tanah menuruni jalan kampung. Satu tunas pohon sejenis beringin dijaganya erat.
Ketika pagi mulai menyingsing dengan langkah berat, Badar menuruni tangga rumah panggung khas Mandar, yang menjadi tempatnya mengeak pertama kali. Di rumah ini dia dilahirkan, dibesarkan, hingga tumbuh dewasa. Ia seperti belajar mengitung setiap anak tangga dari kayu damar itu.
Kaki kanannya segera tiba di tanah, menyusul kaki kirinya. Tak pernah lagi ia menengok ke belakang. Mungkin ia tak lagi mengingat ada berapa puluh anak tangga itu. Wajahnya terlihat sangat berisi kemantapan. Dengan sodo, ia segera membuat lubang untuk bibit pohon yang diambilnya dari Palli.
Lebih sejengkal ukuran dalam lubang itu. Ia terlihat memperhatikan bayang matahari, sebab tak boleh menanam sesuatu sambil membelakangi sumber panas itu. Tanaman harus tumbuh bersama energi dari matahari. Pamali dalam putika. Badar melakukan itu secara seksama.
"Badar, siramlah baik-baik pohon itu," suara agak parau karena usia terdengar setelah Badar mencuci tangannya di atas daun pohon yang baru saja ditanam.
"Iya paman."
"Pohon ini akan menggantikan dirimu di tengah keluarga. Di tempat jauh kami tentu kami tak memiliki daya untuk mencari kabarmu. Pohon inilah yang akan bercerita, meski kau tak sempat berkirim kabar..."
Badar mematung mendengar nasehat itu. Puluhan mata mengantar kehendak laki-laki itu. Di pagi yang mulai sedikit memanaskan pori-pori, Badar akan pergi untuk sekian waktu. Demikianlah para calon lelaki dewasa di kampungnya melakukan itu.