GERAKAN Pramuka kini berusia 53 tahun. Andai ia sosok manusia sudah tentu telah berada pada umur dewasa, dan tentu kian bijaksana. Mungkin ia juga telah mengisahkan banyak pengalaman panjangnya, dengan deret prestasi yang dapat dibanggakan. Penulis menganalogikan, figur dengan usia 53 tahun seperti itu pasti akan tampil dengan wajah teduh, intelek, penuh bakat, dan bersahabat sebagaimana gambaran para pelatih pembina senior di Gerakan Pendidikan Praja Muda Karana.
Sebagai lempang sejarah, Gerakan Pramuka di Indonesia dikukuhkan pada tanggal 14 Agustus 1961 yang ditandai dengan penganugerahan Panji Gerakan Pramuka melalui Keputusan Presiden RI Nomor 448 tahun 1961. Dalam kurun satu dasawarsa dapat dicatat 3 (tiga) milestone perkembangan Gerakan Pramuka (www.pramuka.or.id). Pertama, Presiden RI telah mencanangkan kembali Revitalisasi Pramuka pada Hari Pramuka tahun 2006 yang keberhasilannya saat ini dapat ditandai dengan makin semangat, dan maraknya kegiatan kepramukaan di berbagai daerah.
Kedua, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Regulasi yang memperkuat legalitas kepramukaan. Undang-Undang ini menjamin pelaksanaan pendidikan kepramukaan yang tidak lagi hanya sekedar kegiatan ekstra, atau hanya untuk mengisi masa senggang peserta didik. Akan tetapi meningkat menjadi kewajiban setiap warga negara untuk mengimplementasikannya. Poin penting ini yang mesti dipahami, dan dilaksanakan lembaga pendidikan apapun yang memiliki gugus depan.
Ketiga, pendidikan kepramukaan terintegrasi secara penuh dalam kurikulum 2013 sebagai ekstra kurikuler wajib yang mulai diberlakukan pada bulan Juli 2014 ini. Sambil menulis opini ini, penulis membayangkan riuh-rendahnya gugus depan yang memiliki pangkalan yang aktif menggelar pertemuan-pertemuan Mingguan, yang sering diakhiri dengan Perkemahan Sabtu Minggu (Persami) bila tahap atau jadwal pertemuan berkala telah memenuhi standar kecukupan untuk menggelar Persami.
Di bayangan penulis, di banyak sekolah atau gugus depan kelak, akan tumbuh lebih banyak anak didik yang memiliki sikap berani, tak mudah menyerah, kreatif, dan selalu siap menerima tantangan apapun dari Pembinanya. UU Gerakan Pramuka tidak lagi memberi ruang sedikit pun bagi banyak Ketua Majelis Pembimbing Gugus Depan yang sering otomatis dijabat seorang kepala sekolah. Padahal jabatan itu bisa dijabat seorang tokoh masyarakat atau jajaran Pembina senior, yang dipilih dari musyawarah gugus depan. Penulis menyebut mengenai kedudukan Kepala Sekolah, sebab di titik inilah agenda Gudep seringkali mandeg, jalan di tempat atau bahkan tiarap.
Sebagai salah satu anggota Korps Pelatih di Kwarda Sulbar penulis dengan senang hati, bersedia berdiskusi dengan Pembina atau bahkan Kepala Sekolah sekali pun yang hendak mengaktifkan gugus depannya. Ketika Negara memberi peluang dan ruang yang sangat terbuka ini, tidak ada lagi alasan untuk menyebut Kepramukaan itu tidak memiliki manfaat bagi peserta didik. Kita bisa bertaruh, bahwa sebagian anak-anak dengan kualifikasi cerdas dan aktif di sekolah itu lahir dan didikan Kepramukaan, yang penulis maksud tentu sekolah yang memiliki gudep giat.
Penulis hanya melihat satu kendala utama. Hal ini seringkali saya diskusikan dengan para Purna Dewan Kerja di Gerakan Pramuka, dan Pelatih Pembina senior lainnya. Masalahnya, tapi bagi penulis itu hanya akan sementara, yakni keberadaan para Pembina di gudep yang mungkin tidak tersedia. Ini bisa menjadi alasan bagi pangkalan atau sekolah. Tetapi itu bisa diatasi dengan mengirim guru untuk mengikuti Kursus Mahir Dasar (KMD), atau paling minimal Orientasi Gerakan Pramuka. Guru yang inovatif, dan kreatif atau menyukai tantangan, penulis yakini akan bersedia memanggul tanggung jawab sebagai Pembina Pramuka di sekolah. Ini ladang bagi mereka yang mencintai proses pembinaan kaderisasi.
Menjadi Pembina Pramuka itu menyenangkan. Tapi penulis lebih awal ingin menyebut, paling tidak dibutuhkan tiga pengorbanan untuk melakoninya. Pertama, siapa berkorban waktu. Ini penting sebab bila anda telah menjadi Pembina, hal otomatis yang akan terjadi, Anda pasti akan seringkali disambangi peserta didik, meski di luar waktu belajarnya. Kedekatan semacam ini tidak hanya penuh senda gurau, tetapi pendekatan yang natural itu justru akan menjadi hubungan emosional yang lebih kuat, tinimbang Anda hanya dikenal murid sebagai guru bidang studinya.
Bukankah guru yang baik adalah mereka yang memiliki kedekatan, dan mengenal dengan baik anak didiknya. Di Pramuka, hingga mereka tumbuh dewasa Anda akan tetap mendapat penghormatan yang pantas, dan selalu dikenang. Penulis telah melewati proses itu baik sebagai peserta didik, maupun sebagai seorang Kakak Pembina. Bandingkan dengan guru-guru yang (maaf) sok jaim atau yang selalu menjaga imej. Sementara cara meletakkan wibawa tidak selalu manjur dengan pola menjauhi peserta didik dalam margin guru dan murid. Itu metode kolonial.
Kedua, bersiaplah berkorban secara materi. Jangan mencari untung di Kepramukaan, asas Suka dan Rela merupakan landasan penting. Gerakan Pramuka itu tempat kita mengabdikan diri bagi kehidupan sosial dan pengembangan karakter peserta didik. Bila ada yang berniat demikian, silakan mundur mulai detik ini. Kepramukaan hanya akan memberi Anda pengalaman rekreatif yang menyenangkan, gembira, penuh haru, dan membanggakan. Kepramukaan juga akan membawa melanglang buana ke banyak negeri, dan titik penting di republik ini hingga ke mancanegara. Ingat organisasi terbesar di dunia setelah PBB, yakni persaudaran kepanduan. Di Indonesia, Gerakan Pramuka juga menjadi organisasi raksasa dengan jumlah anggota terbesar.
Jika kelak Gerakan ini memberi manfaat lebih, itulah hasil usaha dari rasa tanpa pamrih. Ketiga, anda harus rela korban perasaan. Dalam arti bahwa dalam mendidik peserta didik di luar ruang kelas, polanya tentu berbeda dengan hanya datang ke sekolah untuk tanggung jawab sebagai pengajar. Jauh sebelum kurikulum 2013 diberlakukan telah banyak Pembina di gudep yang rebah bangun sebagai seseorang yang secara menyenangkan bersedia berdiri sebagai soko guru, yang setiap saat menjadi tempat curhat peserta didik, mengadu, menangis, atau berkeluh kesah. Di Kepramukaan setiap peserta didik seperti memiliki ruang yang tidak diperolehnya dimanapun. Tak heran mereka akan sangat akrab, dan loyal pada pembinanya.
Penulis sangat memahami konteks ini, sebab sejak masa Penegak Bantara tahun 1990-an, penulis telah belajar berdiri di depan peserta didik tingkat sekolah dasar, sebagai Pembantu Pembina. Hingga menempuh seluruh jenjang peserta didik dengan tuntas dengan loyalitas dan dedikasi yang terukur. Sejak tahun 2011, penulis telah menempuh Kursus Pelatih Dasar (KPD) yang digelar di Gorontalo. Dalam kapasitas sebagai Pelatih Pembina, penulis tetap mengangkat rasa hormat pada mereka yang puluhan tahun sebelumnya telah menjadi Pelatih Pembina senior. Di Gerakan Pramuka setiap orang dilatih untuk mengenal dirinya, menghargai orang lain, dan menjunjung patriotisme serta kesahajaan.
Itu bukan nostalgia. Sebab penulis tetap aktif hingga hari ini di Kwartir Daerah Sulbar meski juga memiliki daftar kesibukan yang luar biasa. Tetapi kecintaan pada Gerakan Pendidikan ini tak lagi memiliki daya tawar. Itu seperti sesuatu yang bergerak sendiri. Hingga penulis seringkali merasa harus mampir di pinggir jalan di sepanjang trans Sulawesi ini hanya untuk sekedar menengok sebuah perkemahan yang mengibarkan bendera tunas kelapa. Walau itu hanya level Persami. Untuk mengamati bagaimana agenda mereka digelar, dan mencermati metode kepramukaan yang diterapkan.