"Payo, Lur. Gancang dikit awak tu. Gek tutup pulo." Mang Joe telah duduk manis di atas motor vespa butut kebanggaannya.
"Sabar, Mang. Dikit lagi. Sejar samo iwak betok ini. Tenang be dak akan tutup kantornyo," ujar Agil yang masih menyantap makan siangnya. Laki-laki paruh baya itu menjilat-jilat jarinya.
"Yup, berangkat!" teriak Agil dari belakang Mang Joe.
Mang Joe segera menstarter motornya. Perlahan menembus keramaian Sudirman di siang itu.
Mang Joe baru saja menerima panggilan dari seorang developer perumahan. Ada kerjaan menantinya. Setelah luntang lantung tanpa kerjaan selama tiga bulan ini, akhirnya si bos memanggilnya lagi.
Mang Joe mengajak Agil yang masih terhitung saudara jauh dengannya. Agil adalah pengangguran abadi sejak menamatkan sekolahnya hampir setahun yang lalu di sebuah STM swasta di Palembang.
"Dimano, Mang?" tanya Agil diantara deru kendaraan.
"Sukarami."
@@@
Mang Joe melempar tubuhnya di atas kursi dengan aneka tambalan di joknya. Kursi yang didapatnya dari Pak Haji Muslim, juragan angkot di dekat rumahnya.
Ada sekitar sepuluh angkot yang dimiliki oleh Pak Haji Muslim. Dan semuanya disewakan pada tetangga sekitar yang memiliki SIM A. Uang setoran dibayar pada saat mobil dikembalikan, full minyak.
"Ambillah, Joe. Aku sudah beli kursi Jepara kemarin. Sayang kan kalau harus kubuang," ujar Pak Haji kala itu.
Bik Minah, si istri, menyuguhkan segelas teh hangat di hadapan Mang Joe.
"Cak mano, Pak?" Wanita itu duduk di samping Mang Joe yang masih terduduk menatap langit-langit.
Mang Joe diam saja. Ia melirik istrinya dengan daster batik lusuhnya.
"Bapak belum dapat kerja, Bu." Mang Joe menjawab lemas.
Gurat kecewa langsung tampak di wajah Bik Minah yang terkesan tua. Tak setua usianya yang baru tiga puluh tahunan.
"Belum rejeki, Bu," lanjut Mang Joe sambil menyeruput minuman yang tadi dibawa istrinya.
"Hutang kita banyak, Pak."
Mang Joe hanya tersenyum getir. Pekerjaannya yang serabutan belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Belum lagi kebutuhan anak tunggalnya yang akan ujian nasional dan tentu saja berniat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi lagi.
Sementara hutang-hutang sudah menumpuk dimana-mana, untuk menutupi biaya hidup selama tiga bulan ini. Semenjak kontrak kerja pembangunan perumahan di daerah Jakabaring habis, Mang Joe menjadi pengangguran.
Sesekali ia membantu Pak Haji membabat rumput di belakanng rumah gedongnya. Lumayanlah untuk hidup beberapa hari. Dan setelah itu, kembali pinjam dengan tetangga kiri kanan.
Kemiskinan semakin merengut kepapaan rakyat jelata seperti Mang Joe dan teman-temannya.
@@@
"Bu, kakak pergi dulu," pamit anak sulung Bik Minah dengan seragam putih birunya.
Usianya kira-kira enam belas tahun. Sebentar lagi akan menempuh ujian nasional. Perawakannya tinggi besar dengan kulit hitam terbakar matahari. Berbeda jauh dengan Mang Joe yang bertubuh kecil.
Tidak ada yang istimewa dari anak pasangan Junaidi dan Siti Aminah ini. Sama seperti anak-anak miskin lainnya. Mereka punya mimpi untuk tetap sekolah. Tapi ternyata keadaan tidak memihak pada mereka. Beban hidup yang menghimpit, memaksa mereka untuk menjadi manusia tangguh agar tak tergerus dalam alur hidup yang menyiksa.
Apakah mereka adalah korban kehidupan? Garis tangan sepertinya berkata begitu. Anak itu turut berpacu melewati waktu dalam kemiskinan yang mendera. Menjadi bagian dari kehidupan jalanan yang keras. Realita itu benar-benar nyata dialaminya.
Anak Mang Joe itu duduk di bawah pohon kamboja di pinggir jalan. Tangannya memegang sebuah kertas. Kertas berisi pemberitahuan dari sekolahnya. Matanya nanar, tak bergairah.
Pemberitahuan untuk segera melunasi SPP yang sudah ditunggak selama tiga bulan. Bukan hanya itu, di surat itu juga ada ancaman tidak mengikuti ujian nasional apabila ia tidak dapat melunasi SPP dalam waktu tiga hari. Dan besok adalah batas akhir pelunasan itu.
Mang Joe tidak pernah tahu tentang surat pemberitahuan itu. Sang anak tidak ingin menambah beban bapaknya. Cukuplah bapaknya dipusingkan untuk menghidupi keluarga kecilnya. Dia tahu, hutang sudah menumpuk. Dan tak ingin semakin menumpuk.
Tapi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang, melunasi biaya SPP yang menunggak. Dia masih ingin sekolah, mewujudkan cita-citanya sebagai seorang guru. Cita-cita yang mulia memang.
Dia berpikir keras. Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, anak itu menghabiskan waktunya di jalan selepas sekolah. Menjajakan minuman ringan atau koran di perempatan Charitas. Merelakan jadwal les pemantapan ujian nasional yang harus dia ikuti di sekolah.
Tapi hasil yang didapat tidak seperti yang diharapkan. Intinya cuma upah capek saja. Mungkin kerena banyak saingan yang menawarkan jasa yang sama. Sehingga rejeki yang didapat saling berbagi.
Berat sekali pikiran anak itu. Diusia yang seharusnya menjadi masa bermain berubah menjadi masa prihatin. Bintang yang seharusnya bersinar berubah menjadi kelam. Sementara ia menyadari, tidak bisa berharap banyak dari bapaknya yang pengangguran.
Ia tahu bagaimana usaha bapaknya mencari pekerjaan. Tapi hanya pekerjaan serabutan yang didapat. Ibunya pun tidak tinggal diam. Menerima upahan cucian dari tetangga-tetangga dilakoni sang ibu.
Biaya hidup yang semakin mahal membuat segala usaha yang dilakukan kedua orang tuanya hanya cukup buat makan ala kadarnya.
@@@
Mang Joe mengendarai angkot kuning milik Pak Haji. Beberapa hari ini Mang Joe belajar nyetir dengan Agil. Keponakannya itu memang sudah bisa menyetir. Pelajaran itu didapat ketika Agil masih STM, ada kursus mengemudi bagi siswa-siswanya.
SIM sudah didapatnya. Pak Haji bersedia meminjamkan uangnya untuk membuat SIM itu. Sebagai modal, begitu alasan Pak Haji.
Dan siang itu, Mang Joe bersama angkot kuningnya menembus pancaran matahari yang menyengat. Membakar kulit yang kian melegam, Mang Joe memulai dengan pekerjaan barunya dengan semangat. Bismillah…
Pelan-pelan Mang Joe menjalankan angkot kuning Pak Haji diantara keramaian kota. Menyelip diantara mobil-mobil mewah. Menerobos kemacetan yang tercipta. Mau mengalahkan Michael Shumacher sepertinya.
Angkot itu pun merapat ketika lampu merah menyala. Angka di layar yang menunjukkan waktu masih sekitar seratus lima puluh detik. Berarti kira-kira dua setengah menit lagi lampu hijau akan menyala.
Tiba-tiba sayup-sayup dari kejauhan terdengar teriakan. Mang Joe refleks menoleh. Tampak olehnya segerombolan orang-orang berlari mengejar seseorang. Teriakan-teriakan mengumpat membahana.
"Kayaknya ada pencopet tuh," ujar seorang ibu yang duduk di sebelah Mang Joe.
"Sepertinya masih anak-anak," lanjut ibu itu lagi.
Mang Joe mengamati proses pengejaran itu dari dalam angkotnya. Agak terperangah Mang Joe menangkap pandangan matanya.
Sosok itu. Ia begitu mengenal sosok itu. Perawakannya tinggi besar dengan kulit hitam terbakar matahari. Dia?
Mang Joe segera turun dari angkotnya. Tak diperdulikannya orang-orang meneriakinya juga bunyi klakson kendaraan-kendaraan di belakang angkotnya. Lampu hijau telah menyala.
Mang Joe berlari menghampiri kerumunan yang telah berhasil mengepung buruan mereka. Ia semakin mendekat.
Rintihan si buruan terdengar. Begitu lirih.
"Ampun, aku tobat. Dak lagi nyopet. Ini baru sekali aku lakuin. Aku benar-benar tobat."
"Lho… Kamu Nak Tobat kan?" tanya seorang bapak di sebelah Mang Joe.
Mang Joe seperti mengenali suara itu. Dilihatnya kearah sumber suara. Pak Haji Muslim. Pak Haji menyebut nama yang sangat dikenalnya. Pandangan Mang Joe beralih. Ia terpana, terpukau, terpaku dalam diam.
Seorang anak berseragam putih biru. Tobat, anak semata wayangnya, anak kebanggaannya. Mang Joe menyeruak diantara kerumunan. Pak Haji yang berdiri di sebelahnya tak kalah kegetnya.
"Dia mencopet dompet saya, Joe." ujar Pak Haji.
Tobat hanya menunduk. Tak sanggup menatap mata-mata yang siap menyantapnya.
"Benar, Tobat?" Mang Joe memastikan sambil menatap mata penuh penyesalan milik Tobat.
"Aku tobat, Pak," jawab Tobat sambil menyerahkan surat pemberitahuan sekolah kepada Mang Joe.
"Kau memang Tobat, Nak." Hanya itu jawaban Mang Joe. Padahal jauh di dalam hatinya terdapat sejuta perih menghujam setelah membaca surat pemberitahuan itu.
@@@
Sakatiga, 25 Maret 2010
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI