Pendidikan menjadi sangat penting, namun bagaimana jika pendidikan ditempuh tetapi pada kenyataan tidak diakui untuk dapat bekerja di layanan kesehatan. Ini dinamika yang dihadapi sebagian tenaga kesehatan khususnya perawat tanpa lisensi dan tidak melanjutkan pendidikan profesi.
Dalam situasi darurat Covid -19 seperti ini, negara membutuhkan tenaga mereka untuk bersama-sama bekerja membantu di layanan kesehatan meski kendala yang dihadapi sangat beragam seperti tidak ada STR (Surat Tanda Registrasi) atau lisensi, menamatkan pendidikan akademik namun tidak melanjutkan profesi hingga lulus uji kompetensi namun lama menunggu STR diterbitkan.
Persoalan dilapangan memang tidak akan bisa dimengerti jika masa pandemi ini tidak ada, justru di masa krisis ini, berbagai persoalan yang dihadapi perawat menjadi terbuka. Di saat negara membutuhkan mereka untuk menjadi relawan di berbagai tempat, perawat dengan siap siaga terjun ke lapangan dan membantu meski persoalan yang mereka hadapi sangat rumit atas sistem pendidikan yang tidak memanusiakan manusia.
Ketika sistem uji kompetensi disederhanakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, persoalan rumit yang dihadapi perawat seolah lepas, mereka memiliki semangat dan harapan agar bisa diakui negara sebagai tenaga perawat. Tantangan yang tidak mudah, karena bertahun-tahun mereka harus mengulang ujian agar bisa diakui dan berkompetensi dibidangnya.
Lepas dari dinamika pertama, mereka harus melalui ujian kedua berupa pengurusan dokumen untuk mendapatkan surat tanda registrasi yang harus di input melalui sistem Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dibawah Kementerian Kesehatan. Ini dilakukan bagi perawat yang sudah dinyatakan kompeten dan berhak mendapatkan lisensi berupa lembaran surat tanda registrasi.
Meski Komite Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang menaungi proses pengurusan perlahan mengubah tatanan lama sistem registrasi dari manual ke sistem STR online 2.0.
Namun rupanya untuk menunggu proses cetak STR tidak seperti yang dibayangkan. Perawat bisa menunggu 7-14 hari kerja sesuai dengan aturan yang ada, bahkan bisa lewat dari ketentuan tersebut. Hal ini tergantung dari daerah asal perawat, karena lembaran STR dikirim via pos ke alamat domisili masing-masing.
Jika penulis memberi masukan, sebaiknya KTKI bisa mempermudah tenaga perawat yang mengurus STR agar file dokumen bisa dikirim via email tanpa harus terlebih dahulu meminta kepada KTKI.
Bukankah tenaga perawat yang melakukan input data menggunakan alamat email aktif? Setidaknya saran ini bisa menjadi bahan perbaikan dimasa-masa krisis seperti ini.
Bukan apa-apa, disetiap lowongan dan lamaran pekerjaan, lisensi atau STR menjadi dokumen yang sangat dibutuhkan. Bahkan ijazah dan transkrip nilai tidak berarti tanpa adanya lisensi. Sewajarnya jika pengurusan STR lebih diperpendek dan dipermudah.