Sebagai warga negara yang baik dan ingin berkontribusi bagi masyarakat, Hadi Pranoto mencoba mengolah akal sehat menjadi sesuatu yang diyakini dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Konsep pengobatan tradisional atau komplementer yang diklaim olehnya bisa menyembuhkan Covid-19 diragukan banyak pihak. Ada yang menuding bohong, latar belakang akademis yang lemah serta hasil olahan produk tanpa izin dan melanggar aturan.Â
Hal ini membuatnya harus berhadapan dengan hukum dan seabrek aturan di negeri ini yang sangat birokratif. Bayangkan, untuk menciptakan suatu hasil pengobatan, kita harus melalui riset-riset yang membutuhkan waktu lama dan tidak mudah.
Terlepas dari itu semua, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat dari perspektif lain atas fenomena Hadi Pranoto. Masalah ini bukanlah sesuatu yang baru melainkan ada hal positif dari hasil olahan yang sudah mulai diperjualbelikan. Apa itu ?
Produk Hadi bukanlah sesuatu yang ghaib melainkan produk olahan tradisional yang sejak dahulu para peramu obat sudah menggunakan rempah-rempah tersebut sebagai media untuk mempertahankan kehidupan dan mencegah kesakitan.
Coba bandingkan dengan fenomena Ningsih Tinampi atau Ponari di Jawa Timur, pasti kita berpikir bahwa pengobatan keduanya tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan produk Hadi. Tidak ada unsur ghaib yang membuat kita heran karena hasil olahannya memang sudah sering dikonsumsi masyarakat.
Bayangkan, jika hasil olahan kunyit, kencur atau hasil rempah-rempah lainnya harus diperdebatkan sampai para ahli turun tangan. Lalu mereka yang meneliti selama ini kemana saja.Â
Coba ajak Hadi Pranoto bicara dan bantu dia untuk melanjutkan hasil olahannya agar kemudian bisa dipertanggungjawabkan bukan sebaliknya menghujat dan menghina.
Penulis tidak dalam posisi membela Hadi Pranoto melainkan membuka akal pikiran kita tentang olahan produk komplementer yang sejatinya jauh lebih baik bila dibandingkan dengan pengobatan tradisional batu Ponari dan pengobatan ghaib lainnya.
Jika saya menelaah setiap hal yang berkaitan dengan pengobatan komplementer, maka jarang ada yang meliriknya, padahal hal yang berkomposisi kimiawi tidak selamanya bisa dikonsumsi oleh masyarakat.Â