Pandemik covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 telah mengubah tatatan sistem yang ada baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Dampak yang ditimbulkan juga sangat luar biasa mengkhawatirkan. Segala aktivitas dihentikan untuk menekan penyebaran virus. Salah satu yang mencemaskan adalah agenda wisuda tahunan yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan harus ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.
Penundaan wisuda tentu berdampak pada mahasiswa yang telah menyelesaikan proses belajar di perguruan tinggi. Disatu sisi mereka dihadapkan pada rencana kerja untuk menopang ekonomi keluarga namun disisi yang lain harus menanti sesuatu yang bahkan belum bisa diprediksi kapan berakhir.
Ada beberapa perguruan tinggi yang sudah selesai melakukan yudisium dan berencana mewisuda mahasiswanya, namun karena adanya pembatasan sosial berskala besar, niat tersebut urung dilakukan. Penundaan di informasikan oleh rektorat melalui surat resmi untuk disesuaikan dengan kondisi dilapangan.
Beberapa mahasiswa pasrah karena tidak ada kemampuan untuk bersuara apalagi ini soal wabah, namun disisi yang lain ada sebagian mahasiswa yang bersuara agar penundaan wisuda tidak boleh terlalu lama sebab ijazah merupakan yang terpenting karena wisuda hanya ceremonial saja.
Ada benarnya juga, mahasiswa yang sejatinya ingin bekerja harus menunda rencana tersebut karena ijazah yang menjadi syarat utama bekerja belum bisa dikeluarkan secepatnya. Jika solusi dengan penggunaan surat keterangan lulus, jarang ada yang melirik, apalagi pekerjaan kelas bonefit.
Maka mahasiswa memutar otak untuk bisa bekerja meski bukan passionnya. Ada beberapa yang kreatif dengan mendalami jual beli online makanan, ada juga yang menjual handsanitizer, masker hingga kebutuhan dasar lainnya.
Ada yang aktif dalam kegiatan sosial, menjadi relawan covid-19 hingga memberanikan diri mudik lebih awal untuk menghindari pembatasan sosial berskala besar yang ditetapkan pemerintah. Β
Memang patut diapresiasi, karena jika menunggu dan berdiam, persoalan akan bertambah lebih banyak dan hidup akan lebih stagnan, namun jika bergerak dan turun tangan, ada kebahagiaan karena telah berbuat untuk kemaslahatan.
Jika seandainya wisuda ditunda tahun depan dan ijazah diberikan segera maka bisa meminimalisir kekhawatiran mahasiswa. Akan tetapi jika wisuda diselenggarakan secara online sebagaimana belajar mengajar dan ujian skripsi, tentu akan mengubah tatanan yang ada. Pastinya, aturan tidak menghendaki.
Maka kepada Mendikbbud Nadiem Makarim, penulis ingin meminta saran prihal wisuda tertunda dan ijazah tiada di tahun ini. Ada dua kali wisuda dalam setahun yang harus dilalui mahasiswa, jika seandainya mereka wisuda berbarengan ditahun depan, maka ada 4 kali wisuda dalam satu tahun. Ini sejarah baru pendidikan Indonesia.