Ganja atau mariyuana bagi kami di kalangan kesehatan sangat penting keberadaannya.
Di luar negeri, manfaat dan kegunaan ganja berperan dalam mengatasi berbagai macam penyakit yang umumnya diderita oleh masyarakat seperti Alzheimer, penyakit paru, glaukoma atau kebutaan, dan penyakit epilepsi. Hal ini didasari atas riset kesehatan yang setiap saat muncul dan digunakan.
Ganja menjadi menarik untuk dibahas karena rapat dengar pendapat antara komisi VI DPR RI dengan Kementerian Perdagangan memunculkan statemen ekspor ganja. Pendapat ini kemudian viral karena selain diucapkan oleh politisi dengan latar belakang partai islam, legalisasi ganja juga menjadi perdebatan menarik untuk dibahas.
Eropa, Amerika, dan beberapa negara di Asia Tenggara telah dari dulu meneliti dan memanfaatkan mariyuana. Kita di Indonesia, perdebatan tentang ganja telah sedari dulu terjadi dan hingga saat ini masih belum menemui titik terang.Â
Kesepakatan dalam penggunaannya belum tercipta karena berbagai kendala-kendala yang dihadapi mulai dari izin, aturan hukum penggunaan, hingga riset yang belum menemui titik terang.
Sebagai negara besar, kita sejatinya mau belajar dari Amerika juga negara-negara di Asia Tenggara lainnya tentang aturan juga riset-riset terbaru yang mereka gunakan.
Legalisasi ganja di Indonesia memang belum dilakukan karena secara aturan ganja masuk dalam kategori narkotika yang sangat dilarang keras penggunaannya.Â
Ambivalensi ini kemudian muncul karena di satu sisi negara-negara lain sudah melakukan penelitian tentang penggunaan ganja dan menerapkannya dalam dunia medis namun kita masih menunggu hasil terbaik dari penelitian-penelitian yang ada ditambah produk hukum yang belum mendukung pemanfaatan ganja itu sendiri.
Dalam perspesktif penulis sebagai tenaga kesehatan, ganja atau mariyuana memang mengandung zat THC (Tetrahydrocannabinol) dan CBD (Cannabidol) yang jika dikonsumsi berlebihan maka dapat mempengaruhi tingkat kesadaran manusia.
Namun penggunaan ganja di dunia kesehatan sangat ketat, kita tidak bisa sembarangan memberikan obat yang mengandung ganja melainkan atas dasar pertimbangan diagnosa medis yang dialami pasien serta order dari dokter yang melakukan pemeriksaan. Hal ini untuk mengantisipasi efek dari penggunaan ganja itu sendiri.
Memang belum ada evidence based practice tentang penggunaan ganja sebagaimana alasan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) di Indonesia yang melarang keras ganja dalam pengobatan.Â