Adakalanya sebuah hubungan menjadi renggang dan merapat saat diri menginsyafi segala salah dan lupa, barangkali ego selalu meninggi disaat superego membatasi id yang kadang kala menggoda hati nurani untuk melukai. Pada saat itulah kemudian kesadaran muncul sebagai pembawa nur yang mengilhami untuk berbuat maaf kepada sesama. Alur ini akan selalu hadir sebagai refleksi dari kehidupan yang fana ini.
"Tanyakan siapa sahabatmu", itulah penggalan sabda dari manusia mulia akhir zaman, saat memberi motivasi kepada sahabat lainnya untuk memperhatikan dengan siapa mereka bergaul juga berinteraksi. Kalimat singkat itu kemudian diterjemahkan kedalam pengertian yang lebih luas dimana menjaga keakraban dalam hablumminannas harus terimplementasi sebagai bentuk silaturahim antar sesama.
Walaupun pernah menyakiti, terdzalimi ataupun dilupakan dan ditinggalkan, namun hati yang bening takkan goyah untuk berbuat yang sama. Hati yang bening akan selalu mengikat akal untuk mau menerima dan mengingat segala kebaikan yang ada. Itulah pelajaran yang bisa kita ambil saat ketidakbaikan menghampiri hubungan sebuah persahabatan. Ingatlah kebaikannya, sadari kesalahan diri sendiri dan bermohon maaf atas segala khilaf.
Cara kita menuntun diri harus lebih dinamis dan maju. Stagnan hanya akan melahirkan indiviadualisme yang bisa bermuara pada kecintaan terhadap diri sendiri tanpa mau berbagi jua melihat penghidupan yang lain. Inilah yang dimaksud Peursen sebagai budaya transformatif yang menghilangkan segala kekakuan berfikir dan bersikap.
Menuntun jiwa agar selalu "nerimo" dan "welas asih" butuh waktu panjang dan pendidikan seumur hidup. Walaupun ada diantara kita yang mampu menyadari dan melakukannya, maka kesadarannya untuk memahami diri sendiri sudah berada pada tahap yang lebih tinggi. Kehalusan dalam berbuat, kesantunan dalam ucap dan laku telah menjadi harmoni yang mampu memberikan mata air kecemerlangan.
Sudahkah kita berusaha untuk bisa mencapainya ? "moksa" memang bukan tujuan kita sebab ambivalensi akan terus berkutat dan menjadi godaan yang akan terus meronta dalam diri dan sanubari. Jiwa --jiwa yang tenang memang akan dicapai jika keluhuran budi dan kesadaran diri bisa bersatu dalam akhlak yang tercermin dalam kehidupan itu sendiri.
Pertemanan abadi memang tidak ada, persahabatan sejatipun akan dipisahkan ruang dan waktu, maka berbuat baik, berlaku adil dan menempatkan segalanya atas dasar cinta kepada sesama akan lebih menguatkan marwah persahabatan itu sendiri.
Memang semua akan diuji entah dengan materi, keadaan dan juga keharmonisan. Disaat tigal hal ini menghampiri maka cobalah untuk berbuat adil dengan menempatkan rasa pada relungnya agar nilai persahabatan dapat kita maknai sebagai kesadaran dan cinta bukan sekedar kepentingan sesaat demi keuntungan yang singkat.
Hormatilah setiap sahabat yang pada dirinya ada kelebihan yang kita tidak miliki, jangan pernah meremehkan kebodohan yang ada pada dirinya, bisa jadi kelebihannya diakui langit dan keikhlasannya diakui Ilahi. Jika untuk sekadar meninggi dengan segala apa yang kita miliki maka sesungguhnya itu kecil dan sedikit, ada yang lebih banyak namun tetap merunduk dan ada yang lebih tinggi namun tetap membisu.
Saudaraku, inilah jalan-jalan kehidupan yang termaktub dalam takdirNya. Singgahilah beberapa pemaknaan hidup agar hati kita menjadi lembut, akal kita menjadi berguna dan perspektif kita menjadi terbuka. Bukankah air mengalir akan tetap jernih dan sebaliknya air tergenang akan menjadi sumber penyakit? Inilah kehidupan dan mari menemukan arti dan keunikan disetiap fase perjalanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H