Menjelang hari kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus, masyarakat yang berada di wilayah nusantara memiliki beragam kegiatan untuk memaknainya mulai dari mengadakan permainan tradisional, pergelaran lomba ditingkat RW dan desa serta melakukan upacara bendera diwilayah-wilayah yang terlihat unik seperti gunung dan dibawah laut.
Gambaran kegiatan tersebut memberikan makna tersendiri juga sebagai wadah dalam menjalin keakraban dan meningkatkan nasionalisme dilingkup kehidupan bermasyarakat, meski tujuan utama bukan semata-mata mengejar hadiah tapi memupuk rasa persaudaraan dan kecintaan untuk menjadi bagian dari Indonesia adalah nilai akhir yang tak terhingga.
Melihat kenyataan diatas tentu sebagai warga Negara, kitapun berkeyakinan bahwa bangsa Indonesia sedang berada pada posisi yang begitu kuat. Ibarat sebuah kapal besar di lautan, Indonesia tetap menunjukkan kemegahan sebagai bagian dari Negara kepulauan terbesar yang memiliki 17.000 pulau, 400 etnik dan bahasa, Negara muslim terbesar serta Negara demokrasi terbesar ketiga didunia.
Namun dibalik kemegahan sebagai Negara berkembang dengan sistem demokrasi yang dianut, bangsa Indonesia rupanya belum lepas dari berbagai permasalahan mendasar seperti praktik KKN, kemerdekaan secara ekonomi tanpa campur tangan asing, law enforesement yang lemah serta kedaulatan yang lunglai.
Kasus dan fakta menunjukkan dari mulai tertangkapnya ketua Mahkamah Konsitusi (MK) dalam kasus suap pemenangan Pilkada yang menunjukkan Realita bahwa masih adanya praktik korupsi di lembaga pengadil Negara. Pembelajaran bukan hanya sampai disitu, asumsi praktik KKN ditingkat bawah oleh penyelenggara Negara harus tetap diawasi. Selain itu permasalahan penguasaan kekayaan Negara oleh asing merupakan bukti nyata kekuatan ekonomi kita belum memiliki nilai kerakyatan apalagi dalam hal kesamaan kita dihadapan hukum masih sangat lemah.
Kita bisa mengambil contoh bagaimana maling ayam dihukum 7 tahun penjara sedangkan koruptor kelas kakap dihukum 2,5 tahun penjara bahkan menikmati remisi. Disisi lain dalam hal kedaulatan, masih teringat dalam benak bagaimana wilayah Sipadan dan Ligitan serta tanjung datuk di Kalimantan hingga kini telah dikuasai Negara tetangga dan masih menjadi polemik.
Β
Lantas apa yang bisa kita maknai dihari kemerdeaan ini ? apakah semuanya kita bebankan kepada kepala pemerintahan itu sendiri ?. rasanya naif jika semuanya kita bebankan kepada pundak seorang Presiden yang kali ini telah berkuasa untuk periode kedua.
Oleh karena itu maka kesadaran kritis masyarakat harus ada sebagai antitesa dari kesadaran naif dan magis. Dalam kesadaran kritis tentu setiap peristiwa dipandang sebagai persoalan struktural sedangkan pada kesadaran naif masyarakat memiliki kemampuan untuk melihat persoalan tetapi mereka melakukan privatisasi dan menyembunyikan masalah. lain halnya lagi pada kesadaran naif dimana masyarakat pasrah pada kehidupan dan menganggap kehidupan adalah takdir semata yang telah digariskan tuhan (Nuryanto,2008).
Apa hutang kemerdekaan kita ?
Melihat Indonesia saat ini bak sepenggal firdaus yang ada di dunia, sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga kemerdekaan berbgai upaya telah dilakukan para pendiri bangsa untuk berjuang dengan segenap tenaga, berkorban harta, keluarga bahka nyawa untuk sebuah cita-cita yakni merdeka dan lepas dari penjajah.