Mohon tunggu...
Acet Asrival
Acet Asrival Mohon Tunggu... -

Sepucuk surat lahir dari hati, enggan untuk berdusta. Mewakili segenap rasa, dan mengenang semua kisah. Kisah bersama ibu di desa. Sebuah surat, terungkap kata hati. Agar kerinduan mengalir dalam sanubari. Sebuah surat perantara rasa, antara aku dan ibunda. Terimalah sepucuk surat ini, sebagai kealfaan diri yang luput dari bayanganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Kenangan di Desa

22 Desember 2013   16:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No Peserta : 386 Acet Asrival

Ampang Kuranji, 22 Desember 2013

Assalamu’alaikum. Wr.Wb

Bismillahirrahmanirrahim.

“Sepucuk surat lahir dari hati, enggan untuk berdusta. Mewakili segenap rasa, dan mengenang semua kisah. Kisah bersama ibu di desa.”

“Sebuah surat, terungkap kata hati. Agar kerinduan mengalir dalam sanubari. Sebuah surat perantara rasa, antara aku dan ibunda. Terimalah sepucuk surat ini, sebagai kealfaan diri yang luput dari bayanganmu.”

Sebelum aku melanjutkan surat ini, aku memohon maaf padamu ibu. Atas kesalahan dan kelalaianku menjaga amanah darimu. Aku berdoa pada Allah, agar ibu dalam keadaan sehat, kuat, tabah, dan istiqamah menjalani kehidupan. Dan semoga Allah lebih dulu menyampaikan kerinduan ini, sebelum surat ini tersampaikan padamu.

Surat ini kutulis dalam keadaan bahagia, sehat, dan dalam lindungan Tuhan. Ibu jangan risau di penantian, menungguku pulang dengan sebuah ijazah yang akan aku persembahkan untuk ibu. Sebait nasihat yang aku ingat dari guru-guru, agar aku bisa berbagi pengetahuan padamu. Sebab, aku tahu, ibu adalah seorang wanita yang senang menuntut ilmu di masa muda. Hanya saja di zaman ibu sekolah, desa kita tidak nyaman. Banyak orang-orang asing yang menjajah dan menguasai desa kita. Silih berganti. Hingga sekolah-sekolah tidak lagi menemukan bangunannya, karena kekacauan setelah kemerdekaan 45. Kerusuhan yang terjadi di zaman pemberontakan PRRI.

Ibu terpaksa berhenti sekolah, kelas II Madrasah Menengah Pertama. Kehidupan di masa itu begitu menyulitkan untuk menuntut ilmu. Orang-orang merasa takut dengan kerusuhan yang terjadi di desa. Ibu-ibu berlarian ke hutan, dengan menggendong anak-anaknya. Berhari-hari menahan lapar karena bekal sudah habis digerogoti perut yang membuas. Hanya persedian air yang masih setia, itu pun karena ada sebuah sungai kecil yang mengalir di tengah hutan.

Banyak di kalangan anak-anak menangis tidak kuat menahan haus, dan ibu-ibu dengan sibuknya melindungi anak dari serangan nyamuk-nyamuk. Begitulah sejarah bercerita. Dan kini, desa kita disulap dengan kemegahan, pengetahuan dan teknologi. Orang-orang desa sudah menggunakan transportasi pribadi. Di rumah-rumah tersusun rapi barang-barang elektronik, dan perabotan yang mahal harganya. Ditambah lagi dengan kebiasaan orang-orang desa yang senang berlomba-lomba dalam menimbun harta. Berlomba demi kemegahan agar terpandang mulia. Dan yang tersisihkan dari perlombaan itu adalah orang miskin yang tak punya apa-apa, selain sepetak kebun yang digarap oleh suami tercinta, atau sepetak sawah yang mengganjal perut setiap kali panen. Keluarga miskin kebanyakan jadi buruh tani, kuli bangunan, kuli pasir di pelabuhan, dan kuli bagi diri meraka sendiri.

Hidup tergadai oleh rupiah yang tidak lagi sesuai dengan harga makanan dan pangan. Rupiah yang merajalela hingga golongan menegah ke bawah dengan susah payah menyeimbangi pertukaran zaman yang membahana. Sehingga timbullah problematika bagi kalangan orang-orang tak punya. Hidup serba pinjam-meminjam, hutang-menghutang, dan banyak sekali jasa orang-orang kaya yang mengambil alih masalah itu, hingga mempersulit perekonomian warga. Barangkali.

Ibu hidup dari zaman ke zaman. Dari masa orde lama hingga reformasi. Dan kini, ibu menemukan hidup di zaman demokrasi. Dimana rakyat kecil seperti kita mampu bersuara dan mengatakan sebuah pesan pada penguasa. Tetapi dibalik itu, tidaklah mudauntuk bersuara, karena suara akan dipertanggungjawabkan, tidak di dunia di akhirat kelak pasti. Untuk itu, orang-orang kini, sangat memerlukan ilmu untuk mengikuti perkembangan zaman. Mencari pengetahuan agar terlihat rapi dalam perkembangan zaman. Dimana akan terlihat orang-orang yang berilmu daripada orang-orang yang hanya pandai membaca tulisan di spanduk-spanduk calon walikota/gubernur/presiden, dengan gelar S1-S3 yang berderet pada namanya. Bahkan di kebudayaan kita ini, calon pemimpin sudah digelari datuk pula. Dan berperan dalam kehidupan suku-adat istiadat.

Ibu menyuruhku untuk sekolah. Lima tahun silam aku membantah perkataan itu. Aku pastikan pada ibu bahwa tidak selalu orang-orang berilmu itu akan berhasil. Masih banyak orang yang tidak berpendidikan akan menuai kesuksesan. Dan begitu banyak pula orang-orang berilmu yang tidak sesuai dengan sikap dan tindakannya. Karena kepintaran itu, banyak bapak-bapak kita di kantor-kantor megah terjerat kasus pidana, hanya karena tidak hati-hati dalam menjalankan amanah.

Aku sering beradu mulut dengan ibu. Kata ibu, setidaknya orang-orang berilmu akan diabadikan oleh orang-orang, sebagai orang hebat. Dan bila mereka melakukan kesalahan, itu hanya segelintir oknum yang tidak pandai mengaplikasikan ilmunya di tengah kehidupan. Tidak mengamalkan ajaran agama dengan kesungguhan, dan tidak bersyukur pada Tuhan atas karunianya sebagai hamba.

Aku berkilah. Dengan urat leher yang menegang aku hengkang dari rumah. Padahal usiaku waktu itu baru belasan tahun. Tidak ada keinginan untukku bersekolah. Karena teman-teman sebayaku sudah banyak yang berhenti sekolah, karena tak punya uang untuk biaya sekolah. Karena sering tidak jajan di sekolah. Pedih hati bila melihat fenomena waktu itu.

Mulanya aku adalah anak yang manut pada orang tua. Dari sekolah dasar hingga memasuki Sekolah Menengah Atas, aku selalu mendengar perkataan ibu dan ayah, walau terkadang di hati kecilku sering dongkol akan nasihat ibu. Namun seiring penderitaan dan cobaan yang aku alami di masa itu, aku berniat berhenti sekolah, dan menjadi buruh tani atau buruh di pelabuhan pasir; berendam dalam air, menyembunyikan air mata untuk tetap bertahan dalam hidup.

Ibu tidak kuasa melarangku, hanya dengan doa yang barangkali masih ibu kirmkan untukku. Aku ingin mencari jati diri yang menurutku sesuai dengan tuntutan kehidupan yang aku rasakan bisa membuatku bahagia. Naluriku selalu bertentangan dengan nasihat ibu hingga akhirnya aku putuskan untuk berhenti sekolah.

Ibu. Maaf. Bila di awal surat ini aku menuliskan kembali kisah hidupmu. Aku tidak mungkin bisa melupakan semua tentangmu. Dulu, ibu sering bercerita padaku. Tentang cerita rakyat, legenda, efos, bahkan tentang cerita sejarah yang ada di sekitar kita. Beranjak dari cerita itu semua, aku ingin mengambil kesimpulan, bahwa ibu sangat sayang pada tanah kelahiran. Ibu begitu peduli dengan alam di desa kita. Itu aku ketahui dari cara ibu menanam aneka sayuran dan tumbuhan. Ahh! Sudahlah ibu, biarkan masa lalu menjadi kenangan indah menemani kesendirian pada keterasingan di tengah orang-orang.

Ibu. Pada hari ini semua orang memperingati Hari Ibu. Hari dimana semua anak akan mengucapkan selamat untuk ibunya. Hari Ibu yang diperingati orang di 22 Desember setiap tahunnya. Semua anak akan mengirimkan surat pada ibunya. Bercerita seputar kenangan masa lalu ketika bersama ibu, atau pun cerita-cerita pilu bersama ibu, agar kecintaan kembali mengisi segenap hati dan jiwa.

Pada hari ini, aku juga akan menuliskan sepucuk surat untukmu ibu. Meski kata-kata tiada indah kususun, dan kalimat tiada bagus untuk mewakili perasaan di hati ini, tetapi bukankah kata hati akan dirasakan oleh orang yang kita cintai, dan akan menitikkan air mata. Sungguh, akan aku tulis sedikit kisah mengharu-biru antara kita. Agar ibu tahu betapa hatiku tidak kuasa melihat ketulusan hati ibu mendidikku dan memberiku kasih-sayang agar aku terlihat bahagia sepanjang hari.

Ibu. Tahun 2011 aku mengadu padamu. Tentang musim hujan di desa kita. Tentang harga karet yang drastis turun dari 15.000 menjadi 5.000 rupiah. Bisa dibayangkan betapa merananya orang-orang yang kehidupannya tergantung pada kebun karet. Begitu juga dengan kehidupan kita. Dengan susah payah kita menghemat uang agar cukup sepekan untuk bahan pangan. Begitulah setiap harinya, hanya pas-pasan. Sedangkan harga barang tidak turun dari harga semula.

Waktu itu aku menceritakan perihal diriku yang ingin sekali untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Agar hidup tidak selalu seperti ini. Agar masa depan ada pula baiknya dari sekarang. Ibu hanya tersenyum padaku. Senyum yang sangat sulit kuartikan maknanya. Senyum ketulusan dari sikapmu. Sebuah senyum yang membuat hatiku dirundung tanda tanya. Dan ibu berkata, syukurlah jika kau telah menyadari pentingnya arti pendidikan. Bukankah dulu sudah ibu katakan, bahwa hidup di dunia ini tidak bisa bermodalkan nekat saja. Tidak bisa berbuat banyak bila tidak memiliki ilmu. Maka dari itu dulu ibu acapkali menyuruhmu untuk rajin-rajin sekolah agar menjadi anak yang pandai dan membangkitkan batang tarandam keluarga kita. Ibu mengelus kepalaku, dan di tepian mata ibu mengalir air mata yang begitu ikhlas jatuh di pipi ibu.

Bila niat sudah bulat di hati, dan telah diikrarkan. Maka tidak ada yang tidak bisa dilakukan manusia. Tahun 2011 keinginan untuk bersekolah belum bisa terwujudkan. Selain kondisi perekonomian di desa belum stabil, dan waktu itu, ayah juga terserang infeksi pada paru-paru, dan terpaksa menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah. Ayah sudah sering sakit-sakitan, namun karena tanggung jawab, ayah selalu menyempatkan diri untuk bekerja sebagaimana mestinya. Bagaimana pun pedihnya perjuangan, tidak ayah tampakkan pada kami. Ayah dengan sabar dan ikhlas menjalani semua ini dengan tenang. Aku sangat tahu kepribadian ayah, yang dengan kebijaksanaanya mampu memberi anak-anaknya ruang kebebasan untuk bahagia, walau terkadang aku tidak tahu kapan ayah merasa bahagia dan sedih. Yang aku tahu hanyalah senyum yang selalu ayah hadiahkan untuk anak-anaknya.

Di tahun 2011. Aku dan ibu menggantikan ayah untuk menggarap karet, menyadap getah agar keluar dan bisa kami jual sebagai penyambung hidup. Waktu itu benar-benar kondisi yang sangat menyulitkan bagi kami, barangkali juga bagi para penyadap karet lainnya. Selain harga karet murah, jalan menuju kebun pun tenggelam dan berlumpur. Musim hujan seringkali hadirkan kekecewaan dalam hati. Bagaimana tidak, setelah menyadap karet hujan turun dengan deras, dan karet yang baru disadap hancur bersama hujan.

Aku dan ibu menelusuri jalan setapak menuju kebun karet. Jalan yang kami tempuh sekitar 3 kilometer. Kira-kira 45 menit perjalanan. Bila jalan rusak, kami akan menempuh jalan di semak belukar, dengan jarak yang lumayan jauh dari jalan biasanya. Menembus semak-semak ganas, menyebrangi danau, bahkan lereng bukit. Tetapi itu semua adalah perjuangan. Bagiku hidup memang seperti itu, sedari kecil aku menempuh perjalanan yang seperti sekarang. Karena dulu aku dan ayah sering menapaki langkah di jalan itu.

Ibu. Betapa sedihnya hati, ketika pendapatan kita setiap minggunya hanya mampu untuk melepas makan saja. Padahal aku ingin sekali untuk kuliah. Aku ingin di tahun 2012 nanti bisa kuliah seperti orang-orang kebanyakan di desa ini.

Ibu bisa rasakan. Betapa anak-anak desa ini tidak ada lagi yang menganggur. Di zaman dulu, desa kita sepi karena banyak pemuda yang pergi merantau dan mencari pekerjaan ke negeri orang. Dan di zaman sekarang, desa kita sepi karena anak-anak muda sudah bersekolah di berbagai kota yang ada di provinsi bahkan di luar provinsi lain.

Aku baru menyadari betapa pentingnya pendidikan. Betapa berharganya ilmu pengetahuan. Alangkah malangnya diri ini, ketika hati sudah bertekad untuk sekolah, halang-merintang belum bisa diketepikan dan diatasi. Tetapi demi menjaga kebahagian di rumah kita, semua itu aku hilangkan, agar tidak menjadi beban pikiran ibu dan ayah. Aku tidak mau menambah derita dalam hati ibu. Karena bila ada anak yang bersedih, maka ibulah yang paling dulu dan paling banyak menitikkan air mata.

Ibu. Di tahun itu, aku sering menangis di sudut dapur rumah kita. Aku menangis ketika ibu dan ayah telah tidur. Aku menangis, bukan saja karena memikirkan masa depanku, tetapi juga memikirkan ayah yang harus menjalani perawatan jalan untuk penyembuhan sakit infeksi paru-paru itu. Kata dokter, ayah tidak bisa lagi bekerja keras, tidak bisa lagi mempunyai beban pikiran yang berat. Tidak bisa lagi untuk menjalani aktivitas seperti biasanya.

Aku paham betul dengan kondisi ayah. Sedari kecil ayah sudah bekerja menemani kakek ke sawah. Umur 2 tahu ayah sudah diajari ke sawah, menghalau burung yang memangsa padi. Hingga sekarang ayah masih menapaki jejak masa muda, jejak setapak di kehidupan yang kita jalani.

Tahun 2012 ibu mempunyai sedikit uang. Uang itu ibu simpan dalam jahitan kasur tempat tidur ibu. Kata ibu uang itu sudah lama ibu simpan. Mulanya ibu simpan di dalam lemari, kemudian setelah ada beberapa lembar uang seratus ribuan, ibu kemudian menyimpannya dalam tumpukan kapas di dalam kasur. Agar uang itu tidak dipakai, agar uang itu tersimpan utuh, dan digunakan kemudian hari. Ibu sengaja menyimpan uang itu untukku. Setiap kali mendengar impianku untuk kuliah, ibu akan menyisihkan sedikit uangnya untuk ditabung untuk biaya masuk kuliah. Awalnya ibu sempat pesimis, jika aku tidak bisa kuliah. Dan akhirnya dengan uang itu aku bisa mendaftar kuliah di salah satu perguruan tinnggi islam di Kota Padang.

Begitulah kehidupan bu. Allah memberi kebebasan bagi kita untuk bermimpi asalkan tidak hanya sekadar berhayal saja. Allah Maha Tahu dengan keinginan hambaNya, dan Allah akan mendengar setiap doa yang dipanjatkan padaNya.

Melalui sepucuk surat ini, aku ucapkan pada ibu, Selamat Hari Ibu. Semoga ibu diberkahi dan dilindungi Allah. Semoga harapan dan keinginan ibu dikabulkan Allah. Terima kasih untuk ibu yang telah melahirkan dan mencintaiku. Mengantarkanku ke bangku kuliah. Mengajariku arti sebuah komitmen dan sebuah harapan. Aku sayang ibu, selamanya.

Dari anakmu di tanah rantau

Acet Asrival

***

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community (Link) https://www.facebook.com/ groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun