Mohon tunggu...
Acet Asrival
Acet Asrival Mohon Tunggu... -

Sepucuk surat lahir dari hati, enggan untuk berdusta. Mewakili segenap rasa, dan mengenang semua kisah. Kisah bersama ibu di desa. Sebuah surat, terungkap kata hati. Agar kerinduan mengalir dalam sanubari. Sebuah surat perantara rasa, antara aku dan ibunda. Terimalah sepucuk surat ini, sebagai kealfaan diri yang luput dari bayanganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Kenangan 21 Silam

22 Desember 2013   16:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No Peserta : 386 Acet Asrival

Ampang Kuranji, 22 Desember 2013

Assalamu’alaikum. Wr.Wb

Bismillahirrahmanirrahim.

“Seumpama dedaunan, akan bahagia ketika alam mengirimkan angin untuk membelainya. Begitu juga dengan seorang ibu, akan bahagia hatinya ketika Hari Ibu, anaknya mengirimkan sepucuk surat rindu.”

Ibu. Pada hari ini, tidak ada lagi cercaan terhadapmu. Tidak ada lagi prasangka jua hinaan yang aku pendam padamu. Seiring dewasanya umur ini, mengajariku tentang ketabahan dalam hidup. Bagaimana mengikhlaskan sesuatu peristiwa yang mungkin mengandung hikmah dalam catatan perjalanan hidup kita. Tidak ada lagi kata-kata kasar, atau pun umpatan yang aku berikan padamu. Memang sulit bagi seorang anak untuk menerima takdir. Terlahir dari rahim seorang ibu, mempunyai masa lalu yang tidak baik. Lalu diri ini menjalani kehidupan dengan ketidakjelasan.

Jika aku boleh mengenang, seperti apa kehidupan masa bayiku. Belum lama ibu mendekapku, menimangku dalam ayunan tanganmu, lalu aku harus terbuang di tempat yang tidak layak bagi seorang bayi. Kira-kira umurku waktu itu baru seminggu. Ibu membuangku dalam balutan kehinaan. Dalam pekat malam yang menggigil, aku terbuang di sudut sebuah rumah, hanya diselimuti kain panjang menyerupai bedung yang ibu lilitkan di tubuhku.

Sekejam-kejamnya dirimu, tidak aku rasakan kebencian yang ada padamu. Aku tahu, ibu hanya tidak kuat menanggung malu, tidak sanggup menerimaku dalam kehidupan nyatamu. Dan karena itu, aku ibu buang untuk melepaskan status kehinaan yang akan membuatmu malu. Aku yakin ibu tidak sejahat itu padaku. Ketika ibu meninggalkanku dalam kepekatan malam tanpa seorang pun yang tahu. Ibu meletakkanku di atas tumpukan koran-koran bekas. Dan sebelum ibu meninggalkanku, aku merasakan kecupan hangat di kening dan pipiku. Aku merasakan ketulusan dari kecupan itu, sebagai bukti bahwa air mata ibu menetes di bibirku. Aku mengecap air mata ibu, dan air mataku tumpah seiring langkahmu yang menjauhiku. Ibu terhenti di penghujung jalan di samping pepohonan yang menjadi saksi kisah hidupku. Ibu pandangi aku, lalu pergi dengan beribu godaan yang membuat kita terpisah, sampai hari ini.

Ibu. Pada hari ini, semua orang memperingati Hari Ibu. Dalam hidup mereka, begitu banyak kenangan yang bisa mereka ceritakan dalam sepucuk surat. Begitu banyak cerita yang mereka persembahkan untuk ibunya. Dengan harapan, surat itu bisa terbaca oleh ibu mereka, sekadar pelepas kerinduan, berbagi cerita, juga doa. Sedangkan aku, aku tidak tahu di mana ibu berada. Bahkan untuk mengingat wajahmu, aku belum sanggup membayangi wajah ibu seperti apa. Hanya ada satu kenangan yang akan aku ceritakan dalam sepucuk surat ini. Aku berharap, Tuhan mengizinkan surat ini tersampaikan padamu. Setidaknya, ada getaran hati yang dikirimkan Tuhan padamu, sehingga ibu kembali mengingattentangku. Mengingat di mana aku ibu titipkan. Mengingat dosa apa yang membuatmu meninggalkanku. Lalu aku berharap saat ini ibu telah menyesali perbuatan itu, dan kembali pada jalan yang ditentukan agama kita. Semoga hidayah Allah tercurah dalam sanubarimu, sehingga ibu mengakui semua kekhilafan yang ibu perbuat di masa lalu. Dengan jalan itu, semoga Allah mempertemukan kita dalam pelukan kerinduan, kehangatan, kasih sayang.

Mengenai diriku yang dulu ibu sia-siakan sebagai amanah Tuhan, tidak perlu lagi ibu sesalkan. Sungguh, aku telah memaafkan ibu. Karena aku tahu, ibu bukanlah seorang yang kuat menjalani ketentuan agama. Ibu tidak terdidik dengan ajaran agama. Maka aku memahami, waktu itu Tuhan menitipkan aku padamu, dan dengan ketidaksanggupan yang ibu alami waktu itu, lalu ibu menitipkanku kembali pada Tuhan. Sungguh, pada hari ini semuanya hanya aku jadikan pelajaran, aku jadikan sebuah problematika kehidupan. Dan aku sangat berterima kasih padamu yang telah mengizinkan aku terlahir dari rahimmu. Yang dengan ketabahan hatimu melahirkanku ke dunia ini untuk mengenal Allah, dan melihat indahnya kehidupan alam semesta.

Ibu. Cerita perjalananku mengingatkanku pada cerita tentang Nabi Musa. Hanya saja kisah antara aku dan Nabi Musa berbeda. Dan cerita tentang Raden Paku. Kami sama terbuang dari ayunan masa bayi, terpisah dari pelukan kehangatan seorang ibu. Nabi Musa dihanyutkan di Sungai Nil karena kasih sayang seorang ibu yang tidak rela anaknya dibunuh. Dan Raden paku yang terbuang di sebuah laut, karena hasutan patih kerajaan yang menghasut raja Blambangan-Prabu Menak Sembuyu-kakek Raden Paku sendiri, untuk membunuhnya. Dan karena kasih-sayang ibunya, beliau hanya dihanyutkan di sebuah laut-sekarang Selat Bali. Dan akhirnya Nabi Musa ditemukan oleh istri Raja Mesir waktu itu. Dalam sejarah, Raja Mesir itu adalah raja yang berkuasa, kejam, dan mengaku sebagai Tuhan. Fir’aun namanya. Seorang raja yang terkenal akan kebengisannya, dan juga keangkuhannya. Dan Raden Paku yang ditemukan oleh seorang saudagar kaya, Nyai Gede Pinatih, lalu mengangkatnya sebagai anak sendiri. Begitulah cerita sejarah yang pernah aku baca dalam kumpulan cerita Walisongo dan dalam mushaf al-Qur`an.

Seperti alur cerita, bahwa hidup mempunyai jalan cerita yang berbeda. Dan adalah Allah yang mengatur segala yang ada di jagad raya ini. Allah tidak akan pernah melupakan hamba-Nya yang lemah. Seperti halnya aku. Di saat tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaanku, tidak ada yang menghentikan tangisku, lalu Allah mengirimkan seorang malaikat, malaikat yang mempunyai kepedulian pada tangis bayi di malam pekat. Seorang ibu pemilik rumah bertingkat dua. Barangkali penghuni rumah itu terusik oleh tangisku. Lalu menemukanku tergeletak di samping kanan rumahnya.

Ibu itu membawaku ke dalam rumahnya. Dengan rasa penasaran dan kecemasan ibu yang ditemani seorang laki-laki-yang kini adalah ayahku, membawaku ke rumah kepala RT untuk melaporkan perihal diriku. Dan setelah itu meraka membawaku ke rumah bidan untuk menjalani perawatan.

Ibu. Hal yang paling disenangi oleh seorang bayi adalah dimana ia bisa menetek pada ibunya. Melepaskan dahaga dalam pelukan ibunya. Agar naluri seorang ibu tecurahkan pada anaknya. Agar kelak ketika anak itu dewasa, dia akan mengingat semua kasih sayang dan cinta yang diberikan ibu. Sedangkan aku, aku tidak tahu apakah aku pernah menetek padamu. Apakah setelah pekikan tangis ketika aku dilahirkan, ibu menyususiku. Aku tidak tahu, apakah dalam pelukanmu yang begitu singkat itu, ibu mau menyusuiku. Dan aku berharap, waktu itu ibu menyusuiku, memberiku sebuah bukti sebagai diakuinya aku sebagai anakmu. Bila pun tidak, aku tidak akan mempermasalahkan itu. Setidaknya, aku pernah merasakan sesuatu yang lebih manis dari setetes air susu. Yaitu air matamu yang menetes di bibirmu ketika perpisahan kita. Air mata itu rasanya asin, sesuai dengan kehidupan. Asin yang sewaktu-waktu bisa menjadi pahit, dan sewaktu-waktu bisa membuat semua rasa terasa nikmat. Air mata ibu bagiku melebihi setetes susu. Karena air mata jatuh adalah dari hati, dari perasaan, dari kasih-sayang.

Ibu. Pada hari ini semua kenangan telah kukembalikan pada hayal, dan aku tidak ingin berkhayal terlalu jauh. Aku akan menjejaki kehidupan dengan kenyataan, bahwa aku kini adalah anak dari perempuan yang membesarkanku dari bayi. Aku akan berbakti padanya, sebagaimana kasih sayang yang dia berikan padaku. Bagi seorang anak, hal yang paling membahagiakan dalam hidup adalah ketika ia bisa membahagiakan orangtuanya, ketika bisa berbakti pada ibu dan bapaknya. Dan kebaktian itulah yang ingin aku persembahkan pada ibu yang telah membesarkanku, memberiku nafkah, menjagaku dan menghapus air mataku.

Bukan berarti aku harus melupakanmu ibu. Bila aku mengetahui keberadaanmu saat ini, sungguh aku akan berlutut di hadapanmu, dan meminta maaf atas kesalahanku di masa bayi yang telah membuatmu kecewa. Meminta maaf atas kehadiranku yang tidak ibu sukai. Dan mengecup keningmu dalam kerinduaan lama. Dan bila engkau mengizinkan, aku akan tetap berbakti padamu, dan menghargaimu seperti ibu yang menganggapku sebagai anaknya.

Ibu. Dua puluh satu tahun semenjak kita melepas hari untuk berpisah. Tepat di bulan Desember tahun ini, aku berani menuliskan sebuah pengakuan melalui sepucuk surat. Dua puluh satu tahun melenakanku dalam sandiwara, bahwa aku sangat merindukan kehadiranmu. Setidaknya, menghapus air mata yang selalu menetes ketika mengingatmu.

Dua puluh satu tahun bukanlah sebentar untuk sebuah perpisahan. Tetapi bagi seorang anak perempuan yang mencintaimu adalah bentuk kesetiaan yang aku persembahkan padamu. Dan aku akan tetap bersetia menunggumu, menunggu kecupanmu di keningku, mendekap erat tubuhku lalu kita akan menagis haru sepanjang sisa umur kita.

Pada hari ini, tidak ada lagi prasangka terhadapmu. Aku telah mengikhlaskan masa lalu kita. Masa dua puluh satu tahun silam. Kini aku dibesarkan oleh seorang wanita yang bijaksana. Yang tidak membedakan statusku dalam keluarganya. Aku mempunyai saudara4 orang. Dan secara umur aku anak kedua di keluarga itu. Mereka semuanya baik dan menghargaiku sebagai saudara. Memang, aku bukanlah bagian dari rahim yang sama, tetapi mereka menganggapku seperti saudara kandung, yang begitu menyayangiku. Barangkali mereka tidak tahu asal usulku. Aku yakin ‘ibu’ juga tidak memberitahu mereka.

Ibu. Rumah tempat penitipanku adalah rumah seorang pedagang. Salah satu pedagang yang berhasil di sudut kota ini. Ibu itu bernama Aiman, dan ayah bernama Rabib. Mereka adalah pendatang di kota ini. berangkat dari kampung halaman dengan keyakinan dan sedikit modal untuk membuka usaha. Berkat kegigihan dan ketekunan mereka, sekarang keluarga kami hidup dalam kecukupan, dan bisa menyekolahkan ke empat anaknya, dan juga aku.

Ibu. Aku berharap Tuhan mempertemukan kita di dunia. Sekadar menitipkan asa ini dalam pelukanmu. Mengembalikan air mata yang kau titipkan di masa bayi dulu. Namun bila Tuhan tidak mempertemukan kita di duna ini, aku masih menitip harap padaNya, agar kelak kita disatukan di akhiratNya. Berdoalah ibu, agar Allah memberikan keyakinan pada hati untuk saling menunggu di akhirat nanti.

Ibu. Bila surat ini tersampaikan padamu, mohon kabari aku akan cinta yang ibu tuliskan dalam sepucuk surat jua. Dan aku memohon maaf sebelumnya ibu, tentang seorang ayah yang menanamkan benih dalam rahimmu. Ayah yang membuatku ada meski tidak ingin akan kehadiranku. Sampaikan salam maafku untuknya. Karena aku, ayah merasa bersalah dan berdosa. Aku berharap ibu dan ayah menyatu dalam keridhaanNya. Membina rumah tangga yang hakiki. Saling mencintai dan memperbaiki diri. Biarkan masa lalu itu menghantui, dan beristiqamahlah dalam menjalani kehidupan yang baik. Bila memang kalian tidak menyatu dan tidak hidup bersama, aku berharap tidak ada lagi terulang kisah 21 tahun silam, yang membuat banyaknya korban seperti diriku. Cukuplah aku sebagai pelajaran agar tidak terulang dalam sejarah biografi anak-anak yang terbuang.

Ibu. Surat ini kutulis adalah perantara rindu. Rindu untuk ikatan batin yang ada di hati kita. Terutama kerinduan seorang anak pada ibunya, dan kerinduan seorang ibu pada anaknya. Ibu. Penutup suratku ini, aku ingin memejamkan mata hingga air mataku jatuh di lembaran surat ini. Agar ketika ibu membacanya, ibu menemukan bekas air mata sebagai tanda resmi bahwa aku mengirim surat ini adalah perantara rindu.

Cerita tentang kisah hidupku, aku temukan dalam catatan harian Ibu Aiman. Setelah aku membaca catatan itu, aku meminta Ibu Aiman untuk menceritakan perihal diriku. Maka kutemuilah sepenggal kisah antara aku dan dirimu ibu. Setelah aku mendengarkan cerita itu, aku menangis haru, dan memikirkanmu. Sebelum hari ini, jujur aku memendam kebencian padamu, namun tidak setelah aku menuliskan surat ini. Setelah surat ini selesai kutulis, yang ada di hatiku hanyalah kecintaan dan kerinduan. Akan sesosok bayangmu, dan pelukanmu.

Ibu, dengan rasa hormat, aku memohon doa darimu, sekiranya engkau selalu mengingatku, juga merinduiku. Dan bila engkau tahu keberadaanku, datanglah padaku, aku ingin mengucapkan selamat Hari Ibu. Dan selamat telah melahirkanku ke dunia ini. Semoga aku menjadi anak yang shalihah dan berbakti pada orang tua. Mengabdi pada bangsa dan negara, serta agama.

Dari anakmu, di kenangan 21 tahun silam.

Sabrina

#Cerita dalam surat ini hanya fiktif belaka, bila ada kesamaan nama, hanya kebetulan saja. Terima kasih.

***

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community (Link) https://www.facebook.com/ groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun