Mohon tunggu...
Acet Asrival
Acet Asrival Mohon Tunggu... -

Sepucuk surat lahir dari hati, enggan untuk berdusta. Mewakili segenap rasa, dan mengenang semua kisah. Kisah bersama ibu di desa. Sebuah surat, terungkap kata hati. Agar kerinduan mengalir dalam sanubari. Sebuah surat perantara rasa, antara aku dan ibunda. Terimalah sepucuk surat ini, sebagai kealfaan diri yang luput dari bayanganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta di Dahan Mati

20 Februari 2014   20:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:38 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentangmu Ati, itu adalah sebuah kenangan. Kenangan indah yang terukir dalam wadah kehidupan. Kehidupan yang seringkali kita katakan tempat berlabuhnya segala rindu, terkadang juga tempat berlabuhnya air mata. Kita tidak akan percaya bila akhirnya cinta menjadi sebuah percobaan hidup yang teramat sakit. Dengan hati riang, dahulunya-ketika jemari kita terpaut mengikrarkan cinta, kita katakan, hidup adalah milik kita, milik cinta kita, milik kehidupan kita.

Dugaan kita salah. Sangat salah bila kita mendahului takdir. Seandainya kita ubah sedikit ideologi tentang cinta itu, kita yakin, cinta bukan masalah percobaan hidup, melainkan pendewasaan diri untuk lebih bisa memaknai kehidupan. Namun kita sadar, usia kita masa itu tak cukup paham apa itu cinta. Usia yang teramat muda untuk memaknai hakikat cinta yang sebenarnya. Kata orang di usia belasan tahun, belum ada cinta yang sesungguhnya. Hanya cinta monyet belaka. Rayu-merayu, malu-malu, lalu bertengger pada sebuah dahan untuk mengukir sebuah impian. Seperti halnya monyet itu, binatang yang suka berandai-andai. Ahh! Dengan keangkuhan yang nyata, kita patahkan ideologi orang-orang yang mengatakan cinta di usia remaja adalah cinta monyet. Dan kita ingin membuktikan cinta yang kita dekap adalah cinta yang sebenarnya. Cinta yang tumbuh dengan keyakinan, dan akan berbuah kepastian untuk kita jalani di suatu masa nanti. Dugaan kita salah. Sangat salah.

Kendati kita salah dalam memaknai cinta itu, aku tidak akan menyalahi dirimu-yang kini meninggalkan cinta itu, demi kehidupan yang menjanjikanmu sebuah kebahagian di masa nanti. Kau yang rela menampar debu di mukaku, hingga kehidupanku tersa suram. Hari-hariku terasa kelam. Tiada jalan kehidupan yang mampu kuarungi. Kehidupan sepeninggalanmu terasa suram, tak ada setetes air pun yang menetes di wajahku, sekadar menyadarkanku akan sebuah realita cinta itu. Kau yang pergi dengan sebuah alasan pahit untuk kuterima. Dan aku yang kau tinggalkan tanpa bisa membantah alasanmu itu. Walau demikian, aku tak pernah menyalahkanmu. Tidak pernah kulakukan, meski hati ini sakit. Sangat sakit.

Lalu, apakah aku juga akan menyalahi dan menyesalkan diriku ini? Entahlah! Sempat jua aku menyalahkan ketidakmampuanku sebagai seorang lelaki yang mampu meghadiahi sebuah masa depan indah untuk kita jalani. Diriku-kini orang-orang bilang adalah anak petani miskin. Itu adalah Jumadil yang telah berani mncintaimu. Mengajakmu menjalin sebuah hubungan. Jumadil itu adalah aku. Aku yang saat ini tiada mampu memberimu apa-apa selain air mata yang mengiringi kepergianmu. Aku yang setamat kita SMA tak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Aku yang saat ini adalah seorang penakik karet di musim hujan. Bila di musim panas, aku hanya memutir debu dan hidupku kembali suram. Sedangkan kau, Ati, hidupmu lebih mujur daripada aku. Cintamu jua lebih mujur daripada cintaku. Lihatlah! Dengan riang hati kau berangkulan dengan dia-Rakil- pacarmu itu-tunanganmu itu, berangkulan di hadapanku. Seakan mengejek diriku, menampar debu berkali-kali di wajahku. Dan adalah aku, (jujur kukatakan) aku menangis mengajak cintaku, membawanya pada hidup paling sunyi. Pada hidup yang teramat jauh dari cinta. Sebab. Wajahmu tiada lagi kutemukan di desa Akura ini. Barangkali juga di desa sebelah, tidak akan kutemukan. Jadilah aku penikmat rindu pada sisi yang sakit. Ulah sebuah ideologi yang memberi keyakinan padaku, bahwa cinta itu adalah suatu kepastian. Kepastian untuk bersama. Namun kita saksikan, cinta sebenarnya hanya suatu perpisahan. Ya, sebuah perpisahan.

Setelah cinta yang kita dekap lepas dari rangkulan kita, secara pasti raga kita akan terpisah. Tak ada lagi cerita yang kita jalani. Sebab, alur itu terputus ketika kau memutuskan tali ikatan cinta yang telah lama terpaut. Kau telah bertunangan dengan seorang pemuda di desa ini. Dan kau tahu, pemuda yang kini melingkarkan sebuah cincin di jemarimu itu adalah anak dari juragan tempat aku bekerja. Betapa terpukulnya aku ketika harus menyaksikan hubungan kalian yang tak bisa kuhindarkan. Bila sedikit saja aku berani memutuskan untuk tidak bekerja lagi di kebun karet milik ayahnya Rakil, berarti aku telah memutuskan untuk menjadi pengguran abadi. Sebab, tak ada kantor-kantor di desa ini yang mau menerima karyawan yang berijazakan SMA. Dunia yang semakin pintar, kata orang-orang persaingan lapangan kerja juga semakin rumit. Sebuah lapangan kerja akan diduduki oleh seseorang yang profesional, berpendidikan, dan berwawasan luas.

Namun bila aku masih bertahan bekerja pada ayahnya Rakil, berarti setiap hari aku harus mengeringkan air mata melihat kalian bersenda gurau sepanjang hari. Seandainya aku memilih berhenti, siapa lagi yang membiayai 3 orang adikku yang masih duduk di bangku SD-SMP. Ayah sudah tiada, ibu juga tak sanggup lagi bekerja. Biarlah setiap hari air mataku yang menetes, asal kau, ibu, dan adik-adikku bahagia.

***

Dalam cerita ini, baiklah aku akan mengenang sedikit tentangmu, Ati. Karena gerimis di mataku kembali hadir di hamparan wajahku. Itu tandanya aku harus menulis lagi cerita tentang kita. Sebab, pada siapa lagi harus kuceritakan, selain pada kertas ini. Padamu, itu tak mungkin. Pada ibuku juga tak sanggup kukatakan. Pada adik-adikku mereka tak ‘kan paham. Pada suamimu, ah sangat tidak mungkin. Jadilah pada sebuah cerita di kertas ini aku mengisahkan tentang kita.

Dulu. Aku hidup di tengah keluarga yang berkecukupan. Ayah adalah seorang pedagang sukses di desa Akura ini. Ayah merantau ke desa ini sewaktu membujang. Di tahun 90-an. Menikah dengan Ibu yang asli pribumi desa ini. Sewaktu menikah, Ayah adalah seorang penakik karet, menarik pasir di pelabuhan-yang kini telah menjadi tempat orang mendulang emas. Di pelabuhan itu dulu Ayah memulai kehidupan dengan Ibu. Ayah adalah pekerja keras, tekun, dan bertanggung jawab. Berangkat pagi hingga petang hari baru pulang ke rumah. Berkat perjuangan itu, Ayah memulai berdagang. Dengan sedikit bekal simpanan selama lima tahun lamanya, Ayah mulai kehidupan baru dengan berdagang. Mulanya Ayah berdangang barang anti pecah. Setahun lamanya, usaha Ayah kian berkembang. Lalu atas usulan Ibu, dagangan Ayah diganti dengan pakain. Jadilah Ayah menjual pakaian seperti baju kaos, celana jeans, kain sarung, juga jenis pakaian lainnya. Ibu juga tak tinggal diam. Dengan usaha itu pula, Ibu menjadi penjual pakain dari rumah ke rumah. Dengan sistem kredit, dengan itu usaha dagang Ayah kian pesat. Jadilah Ayah memiliki dua buah toko baju di pasar kecamatan. Satu Ayah yang kelola sendiri, satu lagi Ibu dengan anak saudaranya-Aminah.

Dulu. Pasar kecamatan itu- pasar Gebah namanya. Gebah dalam bahasa kita adalah nama hari yaitu Rabu. Maka orang desa menamakan pasar Gebah. Di pasar itu Ayah menyewa toko. Setiap sekali sepekan Ayah pergi ke pasar Aur Kuning-Bukittinggi untuk membeli barang-barang model terbaru. Di pasar Aur itulah tempat grosir termurah di Ranah kita ini. Setiap pedagang akan belanja ke sana. Lalu dijualkan di pasar di desa masing-masing.

Namun, Ati, hidup tak selamanya mulus. Roda akan dikatakan bila ia akan bergerak dan berjalan. Begitu pula dengan hidup. Hidup akan berjalan umpama sebuah roda. Ada dimana kita bahagia, adapula dimana kita berduka. Ada waktunya kaya, dan ada pula kita menjadi orang tak punya. Itulah hidup. Siapa yang bisa menghindar dari roda kehidupan yang sewaktu-waktu menggiling manusia. Dan itulah yang terjadi pada ayah. Ayah yang dkenal seorang pedagang sukses di desa ini, kian tahun kian merosot dan jatuh tapai. Jatuh tapai dalam artian orang, jatuh yang menghancurkan, meluluhlantakkkan. Jatuh yang sebenarnya. Seperti cinta kita ini. Ah lupakanlah!

Sewaktu kita berkenalan di musim Sekolah Menengah Pertama dulu, aku masih kau kenal seorang lelaki yang hidupnya berkecukupan. Aku masih merasakan kehidupan yang berkecukupan. Dan ketika itu, aku berani menyatakan cinta padamu. Keterlaluan sekali sebenarnya. Kita yang hanya dijodoh-jodohkan teman, ternyata mempunyai perasaan yang sama. Perasaan yang menyerang remaja tingkat awal yang katanya masa pubertas. Di mana gejolak cinta itu terasa ada di hari-hari yang dijalani. Kau yang kukenal adalah anak Pak Kades di desa ini, tentulah membuatku bangga bila dekat denganmu, barangkali kau juga akan bangga bila dekat denganku yang waktu itu juga anak yang terpandang di desa ini. Masa itu masa paling indah kita lewati. Di mana hari-hari kita adalah kebahagian. Banyak orang yang iri melihat kebahagian kita kala itu. Termasuk juga Rakil. Rakil juga menaruh hati padamu. tetapi kau menolak. Bukan karena kau tak suka padanya, secara fisik Rakil lebih baik wajahnya daripadaku, tetapi karena sebuah komitmen, kau lebih memilih bersamaku.

Rakil. Adalah lelaki yang paling membenciku. Ia yang selalu memusuhiku dan tak pernah mau berteman denganku. Alasannya cuma satu, bahwa ia tak rela bila kau bersamaku. Jadilah ia memendam kebencian hingga saat ini. Dan alangkah malangnya, kini kau telah dimilikinya. Ia telah membuktikan sumpahnya di masa itu, bahwa ia akan memilikimu, dan kau akan berlutut mencintainya. Begitu juga aku. Aku telah jadi anak buahnya.

Perihal jatuhnya usaha ayah adalah perihal antara percaya atau tidak. Ayah bercerita kepadaku, kalau akibat merosotnya usaha dagang Ayah, itu ulah orang yang tak senang padanya. Ulah orang yang iri dengan apa yang Ayah miliki. Maka Ayah berprasangka bahwa kegagalan dan jatuhnya usaha Ayah adalah akibat dari kecemburuan orang-orang. Secara tak langsung orang memasang Kebeji di toko Ayah. Kebeji itu adalah bagian dari sihir. Yang menurut kepercayaan orang-orang adalah guna untuk mencelakai orang yang ia benci. Kebeji itu ditanam di dekat rumah, di toko tempat Ayah berjualan. Tetapi itu hanya prasangka Ayah saja. Ayah tidak mempercayai hal mistik seperti itu. Bagi Ayah hidup itu adalah urusan Tuhan dengan hambaNya. Bila seorang hamba ridha atas kehidupan yang dijalaninya, segala sesuatu yang terjadi dalam hidup, itu adalah kehendaknya jua. Tidak ada yang mampu bergerak dan melakukan sesuatu di muka bumi ini kecuali atas izin-Nya.

Ayah pasrahkan saja apa yang terjadi. Hingga tahun ke tahun usaha Ayah benar-benar habis. Puncaknya ketika Ayah menderita sakit keras. Kata dokter ayah terkena Infeksi pada paru-paru, lalu ayah menderita sakit itu hingga ajal menjemputnya.

Setelah kepergian Ayah, aku merasakan perbedaan dalam hari-hariku. Harta peninggalan Ayah yang tersisa hanya setengah hektar kebun karet, itu pun sudah tua. Sekarang di kebun itulah ibu menafkahi kami. Orang-orang juga tidak peduli lagi dengan kehidupan kami. Seakan memandang kami sebelah mata. Dan lebih terasa menyakitkan, ketika itu aku juga merasakan perubahan darimu, Ati. Semenjak kau tahu Ayahku sudah tiada, dan kehidupanku semakin susah, aku merasa kau mulai mengabaikanku, kau mulai menjauh, walau tak sepenuhnya pergi.

Tentangmu Ati, itu adalah perihal cinta yang tergadaikan dengan kehidupan. Kehidupan yang mengambil semua kebahagian yang pernah aku miliki. Jadilah aku seorang lelaki yang tertatih menapaki langkah di bumi ini. Aku tak punya tempat berpijak untuk melawan pedihnya kehidupan. Aku telah terkalahkan waktu, tenggelam dalam masa lalu, lalu menjadi pemurung sepanjang siang. Biarlah aku menjadi si Majnun yang terbakar asmara cinta. Atau jadilah aku si Fikri-lelaki sebatangkara yang mencinta Rahma, bak cerita roman Rinai Kabut Singgalang. Atau aku benar-benar menjalani kisah roman Siti Nurbaya dahulu.

Tentangmu Ati itu adalah sebuah cerita. Cerita pahit dilema cinta. Cinta yang berbuah penghianatan. Penghianatan yang telah kumaafkan. Penghianatan yang menjadi sebuah cerita untuk kutulisakan. Cerita itu adalah cerita yang kupersembahkan pada dunia. Kelak dunia akan menjadikan cerita ini sebagai kisah mengenang, kelak aku adalah lelaki bak batu karang diterpa badai. Kuat dan harus kuat menghadapi cinta itu. *[Ampang Kuranji-2014]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun