Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Otonomi Anak, Sebaiknya DiBebaskan Atau Dikurung?

27 Juli 2016   21:17 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:32 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sebuah catatan kecil hari anak nasional 2016

https://kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id/peran-keluarga-dalam-upaya-tumbuh-kembang-anak/

JARED Diamond, profesor Geografi di UNCLA, mengajukan beberapa pertanyaan yang mengusik dalam bukunya The World until Yesterday; Seberapa besar kebebasan dan dorongan yang dapat diperoleh anak untuk mengeksplorasi lingkungannya? Apakah anak diizinkan melakukan hal-hal ‘berbahaya’, dengan harapan bahwa mereka harus belajar dari kesalahan? Apakah orang tua harus bersifat over protektif akan keselamatan anak? Apakah orang tua harus membatasi eksplorasi dan menarik anak menjauh dari masalah bila mereka melakukan sesuatu yang bisa membahayakan?

Bagi sebagian orang tua hal tersebut menjadi dilematis, antara keinginan memberi ruang otonomi dan kekhawatiran dampak lingkungan. Jalur agama, tradisi, adat dan budaya mempengaruhi tata cara pemberian ruang otonomi tersebut. Sekalipun jawabannya akan beragam dan mewakili banyak perbedaan pemikiran para orang tua, namun pemberian ruang bagi anak untuk berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, adalah otonomi individual. Bahkan bagi anak-anak sekalipun, ruang tersebut dibutuhkan dan harus dihargai, namun tentu saja dengan pembatasan-pembatasan yang wajar.

Otonomi terpaksa

Situasi dan kondisi tertentu bisa “memaksa” terpenuhinya ruang “otonomi kebebasan” anak-anak. Setidaknya di Indonesia saat ini terdapat 7,1 juta anak, yang bekerja karena tuntutan kebutuhan hidup dan desakan dari “kepentingan” tertentu. Sebagian dari mereka bekerja di pertambangan rakyat, galian C, jermal di tengah laut, buruh perkebunan, buruh pabrik. Sebagian lainnya hidup menggelandang menjadi pengemis sebagai bagian dari imbas urbanisasi yang tak terkendali.

Setidaknya angka tersebut merepresentasikan keterwakilan 87 juta anak Indonesia yang sedang didera beragam masalah dari kekerasan seksual, eksploitasi, akses kesehatan dan pendidikan layak hingga urusan narkoba (Serambi, 24/7/2016). Dalam kondisi ini, orang tua yang semestinya bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan anak, tidak berdaya memenuhinya. Sehingga anak mendapatkan otonominya secara penuh untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan atau pada keluarganya sebagai pencari nafkah. Dalam beberapa kasus anak-anak tersebut bahkan menjadi tulang punggung keluarga.

Dalam tradisi kelompok tertentu, kebutuhan otonomi anak hampir mutlak dibutuhkan. Ada kecenderungan orang dewasa menempatkan posisi anak sama seperti orang dewasa hanya beda bentuknya karena lebih kecil saja. Sementara kebutuhan untuk bertahan hidup (survival) mengharuskan mereka berlaku menjadi dirinya sendiri termasuk dalam menghadapi bahaya. Pola ini sedikit banyak berlaku mirip dengan situasi dan kondisi anak-anak yang hidup di lingkungan pedesaan dengan anak-anak yang tinggal di kota.

Kekhawatiran bahwa lingkungan selain keluarga akan memberi dampak negatif menjadi kekhawatiran yang umum. Artinya, anak-anak yang belum keluar dari lingkungan keluarga berkecenderungan berpikir bahwa, lingkungan di luar rumahnya akan bersikap sama kepadanya ketika menemui masalah. Faktanya anak-anak akan merasakan pengalaman pertamanya dijahili atau dijahati (bullying), bisa jadi oleh teman-temanya di lingkungan kelompoknya sendiri. Mirip homo homoni lupus, yang kuat menindas yang lemah.

Dalam situasi demikian, menjadi sangat dilematis bagi orang tua apakah membiarkan anak selalu dalam pengawasan atau memberi sedikit ruang untuk merasakan pengalaman yang berbeda agar belajar dari kelemahan dan kesalahannya.

Ada anggapan bahwa anak yang terlalu diproteksi orang tuanya akan menjadi “anak mami”, anak manja yang sulit beradaptasi dengan lingkungan. Sementara anak yang diberi ruang lebih banyak cenderung menjadi lebih berani dan sedikit lebih bandel, namun bukan jahat. Secara personal memiliki daya tahan yang lebih baik dibanding “anak rumahan”. Namun konteks ini berlaku pada kondisi aktivitas bermain, lingkungan kota yang tidak terkontrol bahayanya, kecelakaan, kejahatan penculikan, kekerasan seksual bahkan pembunuhan dengan beragam motif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun