Data keberadaan tenaga honorer di Indonesia memang bisa membuat kita terkaget-kaget. Masalah tenaga honorer atau non-Aparatur Sipil Negara (ASN) semakin terus bergulir dan bertambah dan tak kunjung selesai. Alih-alih menurun, jumlah honorer atau ASN justru meningkat tiap tahunnya, dan makin membuat Pemerintah pusing mengatasinya.
Padahal jelas-jelas Peraturan Pemerintah (PP) No.49 tahun 2018, sudah menegaskan bahwa PPK dan pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-PNS atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN.
Tapi faktanya, hasil pendataan tahun 2022, jumlah tenaga honorer justru telah mencapai angka 2.360.723 orang. Dan lebih fatal lagi karena ternyata begitu banyak masalah yang kemudian ditemukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Tenaga Honorer "Jalur Titipan"?.
Kejanggalan data yang menjadi sumber kegundahan dan kecurigaan adalah masih adanya 360.950 tenaga honorer yang belum diangkat menjadi ASN padahal masa kerjanya sudah 11-15 tahun. Dan sudah dianggap kadaluarsa karena semestinya mereka sudah diangkat sejak 2015 lalu (kategori TH 2).
Mengapa masalah itu masih "dirawat" oleh Pemerintah daerah sebagai penanggungjawab keberadaan tenaga honorer. Apakah ada mekanisme yang salah atau karena gelapnya latar belakang masalah keberadaan tenaga honorer seperti "siluman" tersebut. Ini menunjukkan masih adanya mekanisme "jalur titipan" tenaga honorer yang menyebabkan masalah ini menjadi terus berlarut. Untuk pembuktiannya BKN membutuhkan validasi lebih lanjut, terhadap data yang dilaporkan.
Jumlah besaran tenaga honorer "silumen" yang diragukan BKN, totalnya 580.004 tenaga honorer dengan rincian masa kerja 11-15 tahun sebanyak 360.950 dan masa kerja 15 tahun sebanyak 219.054. Dan rentang usianya terbesar ada di rentang usia 51-60 tahun.
Jika mengacu pada Peraturan Kepala Badan kepegawaian Negara Nomor 3 Tahun 2020, pada Pasal 7 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Batas Usia Pensiun yakni 58 (lima puluh delapan) tahun bagi pejabat administrasi, pejabat fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsional keterampilan;60 (enam puluh tahun). Dari aturan itu, artinya banyak yang segera masuk usia pensiun, tapi belum mendapat kepastian nasibnya hingga 2023.
Lebih aneh lagi, selain masa jabatan, ternyata ada temuan 5.943 tenaga honorer dengan gaji lebih dari Rp 10 juta per bulan. Sedangkan sebanyak 261.023 orang lainnya justru tidak mendapatkan gaji resmi sama sekali.
Fakta ini begitu timpang, dan mengapa bisa terjadi, masih harus ditelusuri lebih mendalam oleh pihak BKN. Bisa jadi dibayarkan dengan saweran, dana taktis, yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pengeluarannya.
Dan ini tentu menjadi sebab atau penyumbang mengapa tenaga honorer masih menumpuk dan tak mendapat kepastian nasibnya hingga sekarang ini.
Inilah mengapa wacana mengenai Marketplace Guru dan PPPK Paruh Waktu sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga honorer di Indonesia menjadi sorotan yang harus dikritisi melalui analisis yang mendalam.
Lingkaran Setan Tenaga Honorer
Di Indonesia, masalah honorer atau pegawai tidak tetap dalam sektor pendidikan telah menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir. Dua isu yang memperumit situasi ini adalah Marketplace Guru dan Pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu.
Problem ini harus dibedah sebagai solusi untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan para tenaga honorer, terutama dalam konteks Marketplace Guru dan PPPK Paruh Waktu.
Keberadaan Marketplace Guru menjadi tantangan tersendiri bagi honorer. Layaknya sebuah platform belajar daring, menawarkan kesempatan baru bagi para honorer untuk mengajar dan mendapatkan penghasilan tambahan. Namun, disebalik itu tak sedikit tantangannya.