Pro kontra mencuat terkait wacana usulan agar presiden dua periode dapat dimajukan menjadi cawapres. Wacana ini bermula dari penyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono Suroso, ketika dimintai pendapatnya oleh wartawan.
Fajar menyebut bahwa tidak ada larangan konstitusional bagi presiden yang sudah menjabat selama dua periode untuk menjadi wakil presiden.
Pendapat senada juga disampaikan Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP Bambang Wuryanto. Bahwa presiden dua periode bisa menjadi cawapres dengan syarat diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Aturan tidak aturan melarangnya.
Publik segera meresponnya dengan riuh. Masing --masing kutub yang berseberangan sama-sama menggunakan argumen acuan kostitusional, sehingga sama --sama terlihat konstitusional dan legal.
Bahkan Ketua Umum Partai Berkarya Muchdi Purwopranjono dan Sekjen Partai Berkarya Fauzan Rachmansyah mengajukan uji materiil Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam konteks urusan agar presiden dua periode dapat maju menjadi cawapres.
Hasilnya MK menegaskan menolak permohonan tersebut. Dan menyatakan bahwa seorang presiden yang menjabat dua periode tidak bisa maju menjadi calon wakil presiden.
Meskipun dalam ajuan permohonannya kedua pimpinan Partai Berkarya itu memandang sebagai norma baru untuk menerjemahkan Pasal 7 UUD 1945.
Dan menyatakan bahwa konsekuensi logis yang timbul antara Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UUD 1945 berbeda dengan Pasal 7 UUD 1945 secara jelas tidak membatasi hak bagi presiden dan wakil presiden terpilih untuk mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan selanjutnya.
Namun ini bagaikan jebakan batman, MK justru menilai Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UUD Pemilu selaras dengan Pasal 7 UUD 1945. Karena dalam substansi norma Pasal 7 UUD 1945, bahkan secara khusus penjelasan Pasal 169 huruf n  UU 7/2017 menegaskan maksud "belum pernah menjabat 2 kali masa jabatan dalam jabatan yang sama".
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hayim Asy'ari justru ada logika inkonstitusional terkait wacana itu. Semacam jebakan batman yang memperlihatkan kondisi terlihat bisa namun sebenarnya tidak bisa, persis seperti argumentasi ketua MK, adanya keselarasan Pasal 169 dan 227 UUD Pemilu dengan Pasal 7 UUD 1945.
Bahwa pasal 8 UUD 1945 mengatur soal kemungkinan seorang wakil presiden menjadi presiden dalam kondisi tertentu. Seperti yang pernah dialami Megawati di era Gusdur karena di impeachment. Intinya jika presiden meninggal, berhenti, atau diberhentikan atau tidak dapat menjalankan kewajiban dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wapresnya hingga habis masa jabatan.
Dalam kasus seseorang yang telah menjabat sebagai presiden selama dua periode masa jabatan dan kemudian mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden ada ganjalan konstitusionalnya.
Sepertinya tidak ada larangan hingga pada poin tersebut, namun jika terjadi kondisi-kondisi seperti alasan diatas, paling minimal tidak dapat menjalankan kewajiban dalam masa jabatannya.